Adu Dua Saham Tulang Punggung IHSG, BREN vs GEMS

Saham BREN dan GEMS jadi tulang punggung IHSG saat market merah pada 4 September 2024. Keduanya juga cukup fenomenal apalagi saham GEMS yang lanjut naik setelah ex-dividen. Tapi, jika disandingkan, mana yang lebih oke ya?

Adu Dua Saham Tulang Punggung IHSG, BREN vs GEMS

Mikirduit – Ada dua saham yang jadi penopang IHSG pada 4 September 2024 ketika market global merah, tapi pasar saham Indonesia tetap hijau, yakni BREN dan GEMS. Meski, keduanya berbeda sektor bisnis, tapi jika dibandingkan dengan fundamentalnya, siapa yang paling menarik ya?

Kedua emiten tersebut dimiliki oleh dua konglomerat, seperti BREN di bawah Grup Barito milik Prajogo Pangestu, serta GEMS di bawah Grup Sinarmas. Jika harga saham BREN sudah jadi fenomena sejak akhir 2023, sedangkan saham GEMS baru jadi perhatian setelah pembagian dividen interim, karena setelah masuk ex-date, harga sahamnya malah lanjut naik. 

Jika dibandingkan dengan fundamentalnya, mana saham yang lebih menarik ya?

Saham BREN

BREN menjadi emiten dengan bisnis pembangkit listrik energi baru terbarukan seperti, panas bumi. BREN mengelola tiga site, yakni Gunung Salak, Darajat, dan Wayang Windu yang semuanya ada di area Jawa Barat. 

Selain panas bumi, BREN juga berkolaborasi engan ACEN Investments HK Ltd. untuk mengakuisisi aset UPC Renewables Asia Pacific Holding terkait pengembangan pembangkit listrik tenaga angin tahap akhir di Indonesia. 

Nantinya, BREN via Barito Wind akan memiliki 51 persen dari tiga aset pengembangan tersebut, sedangkan ACEN akan memiliki 49 persen sisanya. Tiga aset pembangkit listrik tenaga angin tahap akhir itu memiliki jumlah kapasitas akumulasi sebesar 320 megawatt di daerah Sulawesi Selatan (Sidrap 2),Sukabumi, dan Lombok. 

Sebenarnya, hubungan BREN dengan ACEN sudah sangat dekat, termasuk dalam pengelolaan panas bumi. ACEN juga menjadi salah satu mitra untuk pembangkit listrik di Gunung Salak dan Darajat dengan kapasitas 663 Megawatt.

ACEN sendiri adalah perusahaan platform energi tercatat dari Grup Ayala berasal dari Filipina. Mereka punya beberapa aset di Filipina, Australia, Vietnam, dan India. 

Harapannya, dari hasil kerja sama dengan Grup Ayala tersebut, bisa mendongkrak kinerja keuangan BREN di masa depan. 

Jika melihat kinerja BREN di semester I/2024, hasilnya memang sedikit melambat. BREN mencatatkan penurunan pendapatan sebesar 2,33 persen menjadi 290,07 juta dolar AS. Penurunan pendapatan itu didorong oleh penurunan dua segmen pendapatan besar BREN seperti, penjualan listrik turun 2,33 persen menjadi 132,5 juta dolar AS, sedangkan penjualan uap ke PLN juga turun sektiar 6 persen menjadi 59,99 juta dolar AS. 

Namun, dari segi laba bersih justru naik sebesar 0,53 persen menjadi 57,95 juta dolar AS. Namun, kenaikan laba bersih itu hanya didorong oleh penyesuaian pencatatan antara bagian laba ke entitas induk dengan kepentingan non-pengendali.

Jadi, bagaimana prospek saham BREN? kami menilai sebagai perusahaan panas bumi terbesar di Indonesia, pertumbuhan bisnisnya akan cenderung stabil. Pertumbuhan bisa didapatkan jika ada aksi akuisisi aset baru. 

Catatannya, tingkat utang BREN cukup tinggi dengan debt to Equity rasio (DER) tembus 4,37 kali jika dihitung dengan ekuitas terhadap entitas induk. Total utang BREN mencapai 2,12 miliar dolar AS dengan total ekuitas di bawah 1 miliar dolar AS. 

Lalu, apakah itu pertanda buruk? dengan bisnis BREN yang cenderung defensif karena mendapatkan pendapatan berulang dari operasional pembangkit listrik, sebenarnya posisi utang itu aman selama cicilannya tidak lebih besar dari laba usahanya. 

Sampai semester I/2024 (dihitung twelve trailing month), tingkat interest coverage atio (ICR) masih cukup tinggi sebesar 3,16 kali. Artinya, dari laba usaha yang diperoleh, BREN bisa bayar cicilan hingga 3 bulan ke depan.

Prospek ADRO Setelah Labanya Turun 10 Persen, Bagus atau Nggak Nih?
Akhirnya ADRO rilis laporan keuangan, kira-kira dari hasil kinerjanya, emiten milik Boy Thohir ini lebih baik atau nggak ya? simak selengkapnya di sini

Saham GEMS

GEMS adalah emiten batu bara yang berada di bawah Grup Sinarmas. GEMS memiliki 5 area konsesi yang tersebar di Sumatra dan Kalimantan. 

Tiga konsesi di Sumatra terdiri dari KIM BLOK di Jambi dengan luas area 2610 hektar dan izin hingga 2029, serta EMS Group yang punya lahan dari Kabupaten Musi Banyuasin di Sumatra Selatan dan Dharmasraya di Sumatra Barat dengan luas area 4.739 hektar dan izin hingga 2027. 

Ada dua konsesi di Kalimantan seperti, BIB dengan luas 24.100 hektar dan izin hingga 2036, serta TKS dengan luas di 11.455 dengan izin hingga 2028.

Secara umum, kinerja GEMS bisa dibilang cukup menarik jika dibandingkan dengan emiten batu bara lainnya. Pasalnya, GEMS hanya mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 4,97 persen menjadi 316,91 juta dolar AS. 

Penurunan laba bersih itu disebabkan penurunan pendapatan sebesar 5,28 persen menjadi 1,36 miliar dolar AS. Ditambah beban usaha mencatatkan kenaikan sebesar 3,38 persen.

Namun, laba bersih GEMS diselamatkan oleh penurunan beban pokok pendapatan sebesar 8,83 persen menjadi 733 juta dolar AS. Penurunan beban pokok pendapatan itu dipicu oleh penurunan royalti sebesar 32,68 persen menjadi 171 juta dolar AS, serta penurunan overhead tambang sebesar 25,61 persen menjadi 61 juta dolar AS. 

Jadi, bagaimana prospek GEMS kedepannya? dua area konsesi di Sumatra dan satu Kalimantan milik GEMS memiliki izin yang berakhir dalam 2-5 tahun lagi. Namun, jika mendapatkan perpanjangan lagi hal tersebut bukan masalah besar.

Di sisi lain, GEMS masih memiliki beberapa konsesi yang belum dikembangkan dengan alasan mereka masih fokus di konsesi BIB yang memiliki cadangan terbesar 600 juta ton, serta BSL yang punya cadangan 200 juta ton. 

Selain itu, GEMS juga belum ada rencana diversifikasi bisnis maupun rencana akuisisi tambang lainnya dalam jangka 1 tahun ke depan.

Kesimpulan

GEMS dan BREN punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Misalnya, BREN memiliki kelebihan bisnis yang lebih Green dan berpotensi populer di masa depan. Namun, dengan posisi harga saham yang berada di area Rp10.000 per saham serta kinerja saat ini jelas kurang menarik. Apalagi, tingkat dividen yang sangat rendah. 

Dengan posisi harga Rp10.000 per saham, tingkat dividen BREN di 2023 kemarin secara keseluruhan hanya Rp5,94 per saham. Padahal itu sudah membagikan 50 persen dari total laba bersih. Artinya, posisi harga saat ini sudah jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan laba bersih. Sementara itu, bisnis BREN bukanlah bisnis yang punya potensi margin besar seperti batu bara. 

Sementara itu, GEMS menjadi salah satu saham dengan tingkat dividen yang menarik. Meski, dari sisi harga saham kurang likuid, serta bisnisnya masih terfokus di batu bara.

Namun, dengan posisi harga saham saat ini, tingkat dividen yang berpotensi didapatkan juga jadi kurang menarik. Seperti dividen terakhir yang dibagikan senilai Rp397 per saham. Jika dibeli dengan harga Rp13.000-an, tingkat yield-nya hanya 2 persen. Sudah jauh lebih rendah dari harga sektiar Rp8.000-an yang masih bisa dapat 4 persen. 

Jadi, apakah melewatkan kesempatan di kedua saham booming ini? balik lagi ke tujuannya, jika kamu mengincar keuntungan jangka panjang dan dividen lebih baik ditinggalkan, tetapi jika ingin mengejar keuntungan jangka pendek ya bisa disesuaikan masuknya dengan posisi chart teknikal terkininya.

September Ceria: Jelang Penurunan Suku Bunga The Fed, Lengkapi Ilmu Saham-mu dengan Paket Lengkap Saham Pertama + Mikirdividen PROMO Diskon Rp400.000

Kamu akan mendapatkan benefit super lengkap:

  • e-Book Saham Pertama: Membantumu Mulai Investasi Saham hingga Bisa Taking Profit
  • Kalkulator Harga Wajar Saham
  • Rekaman Event Saham Pertama (bagi yang tidak sempat ikut eventnya)
  • Review dan Analisis 31 Saham Dividen untuk Jangka Panjang (update per 3 bulan)
  • Publikasi bulanan 24 Digest yang rilis setiap Akhir Bulan
  • Grup Diskusi Saham Mikirdividen
  • Event online bulanan bersama seluruh member Mikirdividen

Dapatkan promo September Ceria ini dengan klik link di sini

Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini