Anak Muda Sulit Beli Rumah, Gara-gara Konsumtif vs Harga Properti Tinggi
Dengan mudahnya, Erick Thohir bilang anak muda sulit beli rumah karena gaya hidup konsumtif. Namun, faktanya justru emang harga rumah udah ketinggian. Baca selegkapnya di sini.
Mikirduit – Permasalahan sulitnya membeli rumah sudah menjadi sorotan beberapa menteri dan regulator jasa keuangan. Namun, hal yang disoroti para pemangku kepentingan ini malah faktor-faktor kesekian terkait penyebab anak muda sulit beli rumah.
Misalnya, Menteri BUMN Erick Thohir sempat menyebutkan kalau 81 juta anak muda di Indonesia belum memiliki rumah. Namun, sang menteri hanya menyoroti, anak muda jangan hidup konsumtif agar bisa beli rumah.
Fakta yang disampaikan Erick benar, tapi terlalu mengeneralisir. Tidak semua anak mudah konsumtif. Bahkan, banyak anak muda yang berjuang menjadi tulang punggung keluarga dengan bekerja keras. Kalimat yang dilontarknya Erick ini niat memberikan motivasi, tapi malah blunder generalisir semua anak muda seperti itu.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menyoroti kebiasaan anak muda menggunakan paylater bisa menghambat mereka ambik KPR untuk beli rumah. Namun, basis pernyataan OJK masih lebih masuk akal. Dalam hal ini, mereka mengingatkan kepada anak muda untuk berhati-hati saat menggunakan paylater. Soalnya, ketika ada tunggakan sedikit saja dari paylater, itu bisa mempengaruhi credit score dan kesulitan mendapatkan KPR.
Pernyataan lebih logis muncul dari menteri keuangan Sri Mulyani dan menteri PUPR Basuki Hadmuljono.
Sri Mulyani mengakui harga rumah di Indonesia sulit terjangkau untuk anak muda. Harganya sudah terlalu tinggi. Basuki pun mengungkapkan coba merayu Sri Mulyani agar ada subsidi tambahan untuk anak muda beli rumah.
Memang setinggi apa kenaikan harga rumah dibandingkan dengan kenaikan gaji karyawan?
Fakta Gaji dan Harga Rumah 1990-an vs Sekarang
Dalam beberapa iklan jadul, harga rumah di kawasan elit seperti Pondok Indah, Bintaro, hingga Puri Indah pada 1990-an itu berkisah di Rp10 juta sampai Rp40 juta. Jika dibandingkan saat ini, harganya kemungkinan sudah di atas Rp1 miliar. Padahal, kalau kita hitung dengan kalkulator inflasi, nilai tertinggi Rp40 juta di 1990 itu setara dengan Rp489 juta. Jika, harga rumahnya saat ini di atas Rp1 miliar, berarti harganya sudah naik berkali-kali lipat.
Di sisi lain, dari segi penghasilan. Pada 1990-an rata-rata penghasilan masyarakat terutama di kawasan Jakarta itu sekitar Rp100.000 - Rp200.000 per bulan. Dengan asumsi mereka ambil kredit rumah subsidi Rp5 juta per rumah di perbatasan Jakarta [ini beneran di perbatasan Jakarta nggak kayak sekarang di ujung dunia], mereka cukup menyisihkan Rp30.000 sampai Rp50.000 per bulan untuk rumah dengan tenor 10-15 tahun.
Lalu, apa bedanya dengan saat ini?
Oke, saat ini kita anggap penghasilan masyarakat di kawasan Jabodetabek sekitar Rp5 juta - Rp10 juta per bulan. Harga rumah paling terjangkau ada di kawasan ujung Tangerang, Bogor, Bekasi, Depok, yang setidaknya dekat dengan transportasi umum. Harga rumahnya sekitar Rp300 juta. Jika dihitung dengan asumsi ini rumah subsidi, rata-rata cicilan sekitar Rp1,5 juta per bulan, sedangkan jika bukan rumah subsidi sekitar Rp2,2 juta per bulan.
Sekilas akan terlihat sama antara periode dulu dan sekarang, tapi dari rasio penghasilan per bulan terhadap harga rumah punya gap yang lumayan. Pada periode 1990-an, rasio gap antara penghasilan dengan harga rumah cuma 0,04 kali. Namun, periode saat ini menjadi 0,01 kali. Artinya gap antara penghasilan dan harga rumah cukup jauh.
Pertanyaan selanjutnya, tapi kan dulu bunga KPR masih tinggi bisa tembus 20 persen. Ya memang, kalau dihitung beban cicilan per bulan dibandingkan penghasilan di tahun 1990-an cenderung lebih besar, sekitar 27 persen - 55 persen, sedangkan saat ini sekitar 20 persen - 40 persen dari penghasilan.
Namun, saat ini ada beban lainnya, seperti ongkos pulang pergi kerja selama sebulan itu cukup memakan biaya lho.
Jika, dia naik kereta PP dari stasiun terdekat rumah ke kantor mengeluarkan ongkos Rp7.000. Lalu, naik gojek bolak balik stasiun ke kantor sekitar Rp30.000. Serta parkir di stasiun Rp5.000. Berarti total ongkos sehari sekitar Rp42.000. Total sebulan dengan asumsi 22 hari bisa memakan biaya Rp924.000. Itu hanya ongkos belum termasuk bensin yang mungkin diisi seminggu sekali untuk kebutuhan ke stasiun.
Tapi kan dulu transportasi belum secanggih sekarang? iya bener banget, tapi dulu posisi rumah tidak terlalu jauh dari kantor, serta harga BBM yang cenderung lebih terjangkau sehingga ongkos lebih hemat.
Jadi, Apa Masalah Anak Muda Tidak Bisa Beli Rumah?
Masalah anak muda tidak bisa beli rumah antara lain:
- Rumah yang terjangkau jaraknya terlalu jauh ke kantor sehingga tidak cocok dari segi keekonomian penghasilan dibandingkan dengan pengeluaran.
- Tren harga rumah naik melampui inflasi, sedangkan kenaikan penghasilan masih setara atau sedikit lebih tinggi dibandingkan inflasi. Sehingga untuk cicil rumah menjadi lebih berat
- Banyak biaya rutin yang dikeluarkan dari ongkos PP, bensin, dan sebagainya yang nilainya kalau dikumpulkan dalam sebulan akan terasa besar.
BACA JUGA: Kalau Harga Rumah Sudah Naik di Atas Inflasi Kenapa Investasi Properti Saat ini Tidak Menarik?
Jadi, bukan perkara konsumtif saja anak muda tidak bisa beli rumah, tapi juga hal teknis seperti kenaikan harga properti yang terlalu tinggi dan rumah yang terjangkau jaraknya terlalu jauh dari kantor sehingga berisiko meningkatkan biaya ongkos.
Untuk sementara, anak muda bisa ambil opsi sewa rumah terlebih dulu sebelum memutuskan beli rumah. Pasalnya, jika nekat ambil rumah ada beberapa risiko yang harus siap ditanggung seperti, lingkungan yang tidak cocok hingga risiko bencana akibat cuaca yang makin ekstrem.
Dengan mengambil opsi sewa rumah, mereka bisa lebih fleksibel pindah rumah ke lokasi yang dekat kantor dan lingkungan yang cocok. Namun, jika ada uang lebih bisa mulai beli rumah, kalau bisa besarkan angka uang muka sehingga bisa ambil KPR dengan tenor yang lebih pendek.
Kalau kamu masih tim pilih berjuang bayar cicilan langsung atau sewa dulu sampai nanti punya modal untuk beli rumah?