BREN Lebih Baik dari BBCA? Ini Jawaban Peter Lynch
BREN makin betah sebagai saham dengan market cap nomor satu di BEI. Namun, apakah berarti saham BREN lebih bagus daripada BBCA? berikut ini jawaban Peter Lynch
Mikirdividen – Beberapa hari terakhir banyak konten yang membahas kapitalisasi pasar BREN senilai Rp1.438 triliun mengalahkan BBCA yang senilai Rp1.189 triliun. Padahal, BBCA mampu menghasilkan laba bersih Rp48 triliun sepanjang 2023, sedangkan BREN hanya mencatatkan laba bersih Rp1,65 triliun. Jadi, apakah BBCA lebih baik daripada BREN?
Mengenai fenomena itu, saya jadi teringat kata pengantar dari buku One Up on Wall Street karya Peter Lynch yang membahas tentang booming saham teknologi jelang 2000-an. Dalam pengantar itu, Peter Lynch mengungkapkan dirinya termasuk gagap teknologi.
Dengan permasalahan itu, Lynch mengakui seperti investor tersohor sebelum era dotcom dan startup, pilihan sahamnya adalah saham dengan model bisnis yang dipahaminya. Beberapa saham yang dimiliki Lynch antara lain, Dunkin Donut’s dan Chrysler, perusahaan mobil.
Lynch pun bercerita perkenalan pertamanya dengan Amazon terjadi pada liburan Thanksgiving 1997. Dalam suasana kebersamaan dengan beberapa temannya, Lynch bercerita kalau istrinya Carolyn menyukai novel karya Dorothy Sayers. Lalu, temannya langsung ke komputer tabung, dan mencarikan buku karya Dorothy Sayers, Lynch memilih judul yang belum dimiliki istrinya, dan buku itu dikirimkan ke rumahnya. Itu menjadi momen Lynch mengenal Amazon.
Lynch bercerita meski sudah menggunakan Amazon, tapi dia tidak memahami model bisnisnya. Apalagi, dari pengalamannya, beberapa saham terbaik adalah yang dilihat, digunakan, dan dirasakannya sendiri.
“Saya sempat memantau saat Amazon IPO, harga penawarannya masih make sense dengan prospeknya. Namun, saya pilih mengabaikan kesempatan masuk ke saham tersebut. Seandainya, saya mau riset lebih dalam, saya akan melihat prospek Amazon lebih luas lagi. Namun, saya tidak melakukannya dan Amazon naik 10 kali lipat atau ten bagger pada 1998,” ceritannya.
Saat booming saham dotcom waktu itu, Lynch sempat menyebutkan kalau fundamental tidak lebih dari Topi Tua. Dengan perkembangan teknologi yang lebih cepat, banyak investor berani membayar harga saham emiten teknologi dan dotcom berkali-kali lipat lebih mahal dari kinerja keuangan yang baru bisa dicapai beberapa dekade kemudian.
Pesan Lynch untuk Pemburu Saham Booming
Peter Lynch merujuk meningkatkanya penjualan mobil Maserati di Sillicon Valley selaras dengan tren laris manisnya saham dotcom yang IPO, serta pembeli saham tersebut sejak IPO dan menjual di waktu yang tepat.
Namun, Lynch mengingatkan untuk berhati-hati bagi yang baru FOMO setelah harga sahamnya naik tinggi. Alasannya, apakah kamu yakin berani berinvestasi saham yang lagi booming dengan posisi harga merupakan representasi prospek kinerja beberapa dekade kemudian di masa depan? bahkan prospek kinerja di masa depan itu masih penuh ketidakpastian.
“Kalau saya (Peter Lynch) tidak yakin. Jika kamu tidak mendapatkan jatah saham IPO yang lagi booming itu dan tetap nekat berinvestasi di sana, kamu berpotensi mengalami kerugian besar. Soalnya, beberapa saham booming (saham dotcom) yang menyentuh harga tertinggi pada sesi pertama, setelah turun dan tidak pernah mencapai level tertinggi itu lagi,” cerita Lynch.
Jika kamu merasa menajdi investor yang ketinggalan kereta saham IPO booming, percayalah, hanya sedikit investor yang bisa mendapatkan keuntungan optimal di saham tersebut. Pasalnya, saham IPO yang booming seperti kasus di era dotcom, persaingan untuk mendapatkan penjatahannya pun sangat ketat.
Untuk itu, menurut Lynch sangat menyesatkan mengukur kinerja saham IPO dotcom hanya dengan membandingkan harga penawaran perdana, yang hanya segelintir orang saja yang bisa mendapatkan penjatahannya.
Dari godaan booming era dotcom waktu itu, Lynch yang waktu itu telah pensiun sebagai fund manager dan menjadi investor perorangan tetap memegang teguh topi kunonya, yakni membeli saham yang bisnisnya terus berkembang sehingga laba bersih terus bertumbuh konsisten. Hasilnya harga saham juga akan ikut naik. Sebaliknya, perusahaan dengan fundamental jelek akan mati dengan sendirinya. Meski, Lynch mengakui saham paling cuannya membutuhkan waktu sekitar 3 - lebih dari 10 tahun untuk terlihat cuan dengan optimal.
Valuasi dan Harga Saham
Dalam metode cari saham murah, salah satu metode topi tua (fundamentalist) adalah dengan menganalisis lewat valuasi price to earning ratio (PE). (untuk di Indonesia bisa juga fokus ke price to book value (PBV) karena masih banyak emiten tradisional yang kinerja laba-bersihnya fluktuatif dari rugi ke laba)
Namun, saat era dotcom, Lynch melihat saham internet ini tidak memiliki laba bersih sehingga tidak bisa dinilai dengan PE. Untuk itu, menurutnya, banyak investor dan trader hanya fokus di harga saham. Padahal, harga saham adalah metriks yang memiliki informasi paling sedikit.
Lynch menjelaskan fenomenal fokus di harga saham ini adalah ketika saham A dijual 30 dolar AS, tapi saham B dijual 10 dolar AS. Berarti, ada kesimpulan kalau saham A lebih bagus daripada saham B. “Namun, perbandingan siapa yang lebih baik dengan asumsi harga saham lebih tinggi adalah sebuah khayalan yang berbahaya,” ujarnya.
Pada kenyataannya, Mr. Market, sosok fiktif yang bisa mempengaruhi pergerakan harga saham yang digambarkan oleh Peter Lynch, melakukan jual-beli hari ini atau minggu depan tanpa memberitahu mana saham yang berpotensi cuan dalam setahun hingga tiga tahun lagi.
“Jika kamu hanya ingin melihat dari satu jenis data, lihatlah bagian laba bersih - dengan asumsi perusahaan itu sudah laba tidak masih rugi. Saya masih punya gagasan kalau laba bersih adalah penentu keberhasilan atau kegagalan investasi saham-mu. Lalu, apa yang terjadi dengan harga saham hari ini, besok, dan minggu depan hanyalah salah satu penganggu jangka pendek untuk mencapai tujuan masa depan,” ujarnya.
Korelasi BBCA vs BREN dengan Kisah Peter Lynch
Ramainya pembahasan kalau saham BREN lebih oke dari BBCA itu seperti kisah Lynch di era dotcom, yakni ketika banyak investor dan trader hanya melihat sebuah saham dari harga atau market cap-nya.
Oke, jika kamu pegang BREN di harga bawah atau sejak IPO, jelas secara kinerja keuntungan sangat jauh lebih baik dibandingkan dengan BBCA dalam satu periode yang sama. (sejak BREN IPO di Oktober 2023)
Namun, pertanyaannya, seberapa banyak orang atau investor ritel yang bisa masuk di saham BREN? berapa banyak alokasinya dari total portofolionya? sebagai catatan, BREN hanya melepas 3 persen atau 4 miliar lembar saham-nya ke publik. Lalu, investor perorangan sampai April 2024 hanya memegang 188 juta lembar atau setara 0,14 persen dari total saham keseluruhan.
Sehingga bisa dibilang hanya 1:100.000 investor yang berpeluang masuk dan bisa cuan di saham BREN. Sisanya, ada yang masuk tapi di harga yang tinggi, jika panik saat penurunan sebelumnya, dia pasti sudah cut loss. Itu semua terjadi karena mayoritas fokus di pergerakan harga, tanpa melihat fundamental. Jika dilihat, PE BREN per 17 Mei 2024 417,47 kali. Artinya, posisi harga saham BREN terakhir itu setara dengan 417 kali dari total laba bersih 12 bulan terakhir (akumulasi kuartal I/2024 dan kuartal II - IV 2023). Berarti, setara dengan prospek kinerja BREN ratusan tahun ke depan yang belum tentu terjadi.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, saya bukan penganut Topi Tua garis keras. Memang, ada yang menyangkal, toh tujuan masuk ke pasar saham kan cuan, jadi kenapa tidak milih BREN yang lagi booming?
Namun, di balik itu semua, saya selalu mengingatkan masuk ke saham yang anomali dalam artian naik sendirian saat yang lain turun itu risikonya tinggi. Soalnya, saham itu digerakkan dengan sengaja dan peluang cuan untuk masuk ke sana bisa dibilang lebih rendah dibandingkan dengan tingkat risiko yang akan diterima.
Tingkat risiko yang diterima adalah jika kita masuk di saham tersebut dan posisinya sudah terlalu tinggi dan siap cuci piring, istilah saham yang setelah dinaikkan lalu mau dibanting, berarti kita bakal nyangkut. Masalahnya, nyangkut di saham seperti ini bak tidak ada harapan lagi kecuali menanti keajaiban Mr. Market yang mau naikin saham tersebut lagi.
Untuk kamu yang sudah berpengalaman beli saham ARTO di Rp18.000 dan hold sampai saat ini mungkin akan lebih paham dengan risikonya.
Jadi, jika ada saham dengan fundamental bagus ternyata harga sahamnya lagi turun dan kalah dibandingkan saham booming seperti BREN, saya hanya bisa menjawab, “Kelebihan saham dengan basis fundamental adalah saat turun, dia masih punya harapan naik selama prospek bisnisnya masih positif, sedangkan jika nyangkut di saham gorengan ya selesai sudah harapannya kecuali ada dermawan yang mau goreng lagi.”
Kalau kamu, masih ingin coba peruntungan di saham yang naik secara anomali atau lebih bersabar di saham berbasis fundamental?
Butuh mentor dan diskusi untuk membangun aset saham dividen yang kokoh, tapi nggak bosenin?
Yuk, join Mikirdividen periode Full Year 2024 dan pas banget di 18 Mei 2024 Pukul 13:00 WIB nanti ada event khusus member bertajuk Screening Wonderful Stock from Financial Statement. Kalau kamu mau mendapatkan manfaat dari fitur Mikirdividen dan ikutan event tersebut, yuk join sekarang juga dengan klik di sini
Kalau kamu join Mikirdividen, kamu akan mendapatkan semua ini:
- Update review laporan keuangan hingga full year 2023-2024 dalam bentuk rilis Mikirdividen edisi per kuartalan
- Perencanaan investasi untuk masuk ke saham dividen
- Grup Whatsapp support untuk tanya jawab materi Mikirdividen
- Siap mendapatkan dividen sebelum diumumkan (kami sudah buatkan estimasinya)
- Publikasi eksklusif bulanan untuk update saham mikirdividen dan kondisi market
- Event online bulanan, topik sesuai kebutuhan member
Tertarik? langsung saja beli Zinebook #Mikirdividen
Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini