Bubble Saham Konglomerat Bakal Pecah, Saatnya Rotasi Sektoral?
Saham konglomerat yang bergerak moncer dari tahun lalu, rasanya sudah kian meredup. Di luar dari kabar huru-hara pagar laut sampai gagal masuk MSCI, akankah ini menjadi sinyal gerak saham para taipan RI sudah mencapai bubble? dan saatnya rotasi sektoral?

Mikirduit - Tahun 2024 bisa dibilang menjadi tahun gemilang bagi sederetan saham konglomerat. Namun, pada tahun ini rasanya gemerlap hijau saham-saham itu sudah kian redup. Apakah ini tanda sudah mencapai bubble?
“Setiap saham ada masanya, setiap masa ada sahamnya”. Kata-kata ini rasanya tepat jika kita berkaca dari beberapa tahun terakhir di mana setiap tahun pasti ada saham yang booming. Mari kita urutkan sebagai berikut :
→ 2020 : saham-saham healthcare atau farmasi
→ 2021 : saham bank digital dan teknologi
→ 2022 : saham komoditas, terutama batubara
→ 2023 : saham green energy / EBT
→ 2024 : saham konglomerat dan aksi korporasi
Pada 2024, saham konglomerat bisa dibilang menjadi pemimpin pasar dengan pergerakan-nya yang moncer.
Sebagian dari mereka bahkan bergantian merajai posisi top 10 market cap, sebut saja seperti saham PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN), PT Dian Swastia Sentosa Tbk (DSSA), PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN), dan PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI).
Yang paling fenomenal ada saham BREN karena pernah berhasil melampaui market cap saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yakni di atas 1 kuadriliun rupiah hanya dalam kurun waktu tiga bulan saja setelah listing.
Namun, pergerakan deretan saham konglomerat memasuki bulan kedua 2025 ini rasanya sudah mulai terkikis. Akankah ini sudah menjadi sinyal bubble?
Sinyal Bubble Saham Konglomerat
Saham konglomerat yang memiliki beberapa agenda aksi korporasi seperti Initial Public Offeting (IPO) sebenarnya masih bergerak moncer pada awal tahun ini. Namun, gerak saham-nya memasuki Februari ini kian merosot.
Sebut saja ada saham PANI pada Desember tahun lalu sempat mencapai puncak tertinggi di kisaran Rp18.000 per lembar. Sepanjang 2024, saham ini terbang lebih dari 200%.
Memanfaatkan momentum yang sedang ciamik, sebagai induk usaha, PANI berhasil membawa anak usahanya, PT Bangun Kosambi Sukses Tbk (CBDK) IPO pada 13 Januari 2025 lalu.
IPO CBDK terbilang sukses dengan Auto Reject Atas (ARA) enam hari beruntun. Sebelum terjun, saham ini sempat mencapai titik tertinggi di atas Rp11.000, atau naik nyaris tiga kali lipat dari harga awal listing di Rp4.060 per lembar.
Baru sekitar sebulan terakhir, dua emiten yang punya kaitan dengan taipan Aguan kena isu pagar laut di Tangerang yang beririsan dengan area pengembangan PIK 2. Akibat itu, saham PANI dan CBDK mulai longsor.
Saham PANI sempat jatuh sekitar 45% sampai di bawah Rp10.000 per lembar, sementara CBDK sempat kembali ke level Rp6.000 per lembar.
Saham konglomerat lain seperti BREN, PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN) dan PT Petrosea Tbk (PTRO) juga tersandung kabar negatif dari pupusnya harapan masuk konstituen indeks global, MSCI.
Kabar itu membuat saham-saham itu kontraksi, saham BREN terbilang yang paling parah anjloknya karena merupakan salah satu yang digadang bakal masuk MSCI tetapi gagal lagi.
Sampai Jumat (14/2/2025), saham BREN berada di posisi Rp6.150 per lembar, dari puncak tertinggi-nya sudah jatuh nyaris setengah nilainya. Saham CUAN juga tak kalah dengan ambles lebih dari paling tinggi pernah di atas level Rp14.000 per lembar, kini berada di level Rp7000-an.
Selain dari saham-saham di atas, tanpa mempertimbangkan pemicu dari kabar negatif, sederetan saham konglomerat lain terpantau sudah mulai terkontraksi akhir-akhir ini.
Berikut terlihat performa saham-saham konglomerat dalam beberapa periode :
Dari data di atas terlihat bahwa pergerakan dalam sebulan terakhir sudah banyak yang masuk ke zona merah. Bahkan ada dua yang sudah kembali minus untuk pergerakan tahunan seperti BRPT dan AMMN.
Kami melihat penurunan harga saham dari deretan saham konglomerat ini perlu diantisipasi sebagai sinyal bahwa bubble sudah mulai pecah. Kenapa?
Pertama, secara teori teknikal yang menyebutkan “history repeat itself” membuat kita belajar dari kejadian beberapa tahun lalu. seperti hype saham-saham farmasi pada 2020, berlanjut saham bank digital dan teknologi pada tahun berikutnya, lalu pada 2022 saham komoditas, dan lainnya.
Sebagai satu contoh saja, saham ARTO pada 2021 naiknya lebih dari 300% sampai sempat menembus Rp19.000 per lembar secara intraday. Namun, kini sahamnya makin terpuruk, dalam empat tahun terakhir sahamnya terus di zona merah, bahkan sudah di bawah Rp2000 per lembar.
Kedua, adalah valuasi yang sudah terlampau mahal sampai di level yang tidak masuk akal.
Belajar dari ARTO lagi, pada 2021 menggunakan metrik valuasi price to book value (PBV) sempat mencapai 130 kali.
Nilai tersebut sangat mahal dan membutuhkan waktu sangat lama untuk mencapai titik impas dari modal yang kita tempatkan.
Misal kita asumsikan pakai ROE 10%, dengan PBV 130 kali. Maka, butuh waktu 1300 tahun untuk balik modal. Di sini investor mengharapkan profitabilitas yang semakin tinggi supaya bisa cepat balik modal.
Namun, waktu itu ARTO masih rugi, jadi ekspektasi investor tentu tak memungkinkan untuk dapat profitabilitas.
Saat ini, kita melihat PBV ARTO per 14 Februari 2025 sudah berada di 3,14 kali dengan harga saham di Rp1.920 per lembar.
Jika mau beli saat ini, kami lihat valuasi sudah di level yang lebih masuk akal karena harga juga sudah turun lebih dari 80% dalam tiga tahun terakhir ini.
Dari dua faktor di atas menunjukkan bahwa ekspektasi pasar yang terlalu berlebihan membuat harga saham naik relatif singkat sampai valuasi terbang ke level tak masuk akal.
Jika, ekspektasi profitabilitas kemudian tak sesuai, maka yang terjadi adalah penurunan harga saham dengan cepat juga atau berlarut-larut dalam jangka waktu yang lama sampai menuju ke level valuasi yang lebih masuk akal.
Dalam hal ini kita belajar bahwa kadangkala analisis fundamental tak relevan untuk saham booming, tetapi kita percaya bahwa kenaikan yang tak masuk akal pada akhirnya akan menuntut ekspektasi secara fundamental juga.

Mari kita lihat seberapa mahal valuasi saham konglo sekarang…
Lesson learn, dari saham booming yang selalu berganti tiap tahun, mari kita check seberapa mahal valuasi saham-saham konglomerat saat ini menggunakan metrik PBV dan PER :
Dari data di atas terlihat kalau menggunakan Price to Earning (PER) semuanya masih sangat mahal, sementara kalau menggunakan PBV hanya INPC yang masih di level yang masuk akal valuasinya.
Kesimpulannya, dengan melihat nilai valuasi yang sudah terlampau mahal disini membuat kita untuk lebih hati-hati dan lebih paham bahwa saham-saham booming tidak terlalu cocok untuk investasi.
Saham booming seperti ini lebih cocok untuk trading jangka pendek memanfaatkan momentum menggunakan analisis teknikal. Namun, tetap harus disertai dengan toleransi risiko pada stop loss yang ditentukan, agar kita bisa meminimalisir risiko apabila strategi kita meleset dari ekspektasi.
Mau Atur Strategi Investasimu Bersama Ahlinya?
Jika kamu ingin tahu atau mau langsung gabung ke Mikirdividen, kamu bisa klik di sini .
Untuk mengetahui tentang saham pertama, kamu bisa klik di sini.
Jika ingin langsung transaksi bisa klik di sini
Langganan Sekarang dan dapatkan Fix Rate perpanjangan seperti harga pembelian pertama selama dua tahun ke depan.
Beberapa benefit baru yang sedang disiapkan:
- IPO Digest Premium
- Saham Value dan Growth Bulanan yang Menarik
- Update porto Founder Mikirduit per 3 bulan
Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini