Cara Beli Saham di Harga Tinggi, tapi Tetep Berpeluang Cuan

Ada yang bilang beli saham di harga murah, kalau di harga tinggi nanti jadi Greater Fool lho. Namun, beli saham di harga tinggi nggak selalu buruk jika kamu sesuai dengan kriteria ini.

Cara Beli Saham di Harga Tinggi, tapi Tetep Berpeluang Cuan

Mikirduit – Salah satu cara cuan dari saham adalah beli di harga bawah, dan jual di atas harga atas. Pernyataan ini terlihat sederhana dan secara logika ya benar, masa beli di harga atas dan jual di bawah kan rugi? tapi realitanya justru banyak yang keliru hingga mengalami kerugian di saham. Pertanyaannya, apakah bisa semua investor saham untung? 

Tahu nggak kenapa kita bisa untung di saham? alasannya karena ada yang mau beli saham yang kita pegang di harga yang lebih tinggi dari periode kita beli. Akhirnya, kita bisa jual dengan mengambil selisih keuntungan harga jual beli karena orang yang beli di harga tinggi tersebut. 

Di sini, kita kenal dengan Greater Fool Theory, sebuah teori di mana ada investor berani membeli aset (seperti saham atau crypto) di harga yang sangat tinggi tanpa dasar yang kuat. Namun ingat, tidak semua orang yang beli di harga tinggi itu sosok Greater Fool. Untuk itu, kita mempelajari alasan orang beli saham di harga tinggi dan apakah termasuk seorang Greater Fool atau tidak?

Deretan Alasan Investor Berani Beli Saham di Harga Tinggi

Kami selalu menilai membeli harga saham di harga tinggi itu memiliki risiko yang sangat tinggi. Pengertian harga tinggi bisa tergambarkan dari valuasi yang sudah di atas rata-rata periode tertentu, bisa 3,5, sampai 10 tahun, serta saham yang meroket dalam jangka pendek hingga hitungan di atas 50 persen.

Kenapa risikonya tinggi? soalnya daya belinya sudah berlebihan dengan alasan yang mungkin sudah tidak rasional. Sehingga jika sudah sampai titik jenuh atau pucuknya, saham itu akan jatuh lebih cepat daripada kenaikannya. 

Namun, beli saham di harga tinggi tidak selalu buruk jika kita memiliki alasan kuatnya. Misalnya, sebelum stock split, harga saham BBCA itu sekitar Rp6.000-an atau angka sebelum stock split sekitar Rp28.000 - Rp30.000 per saham. Namun, setelah stock split naik hingga tembus Rp8.000 per saham. 

Jika, ada investor yang beli saham BBCA di harga Rp8.000 per saham, sebuah harga tertinggi sepanjang masa saham tersebut, apakah investor itu seorang Greater Fool?

Jawabannya, belum tentu, jika dia punya alasan kuat seperti, dia menyakini bisnis perbankan di Indonesia masih akan kokoh hingga 10-20 tahun ke depan. Artinya, BBCA sebagai market leader akan mendapatkan benefit luar biasa. Soalnya, bisnis bank itu bicara modal, semakin besar skala bisnis, berarti semakin besar modal. Dengan begitu, BBCA punya kelebihan untuk ekspansi kredit lebih fleksibel dibandingkan dengan bank menengah lainnya. 

Sehingga, saat membeli BBCA di harga Rp8.000 per saham saat itu dinilai masih cukup layak dengan asumsi pertumbuhan bisnisnya di masa depan masih akan kencang. Dengan memiliki alasan kuat itu, kamu bisa bertahan menghadapi badai saham BBCA setelah all time high kala itu. (sempat terjun mendekati Rp7.000-an per saham lagi)

Jika investor tadi masuk ke saham BBCA dengan alasan, pasti harga sahamnya bakal naik terus. Pas liat, harga saham BBCA ke Rp7.000-an per saham, pasti resahnya bukan main. Bukan tidak mungkin dia malah cut loss. Toh, setelah itu ada potensi menyesal karena pada ujungnya sekarang saham BBCA malah tembus Rp10.000-an per saham kan?

Sampai Kapan Saham Big Bank Menguasai IDX?
Saham big bank sudah hampir menguasai 10 besar market caps selama 1 dekade terakhir. Kira-kira bisa sampai kapan dan apa sektor yang menggantikannya?

Kisah Saham ARTO

Begitu juga di saham ARTO, jika kenal bank ini pada periode 207-2019 itu lagi berat kondisinya. ARTO adalah bank keluarga asal Bandung yang bernama Bank Artos. Skala bank ini kecil banget, sampai akhirnya diakuisis oleh Patrick Walujo bersama Jerry Ng (dua orang ini memang satu kubu di Northstar, waktu Northstar akuisisi BTPN, Jerry Ng yang lagi megang manajemen BDMN langsung ditarik ke bank barunya mereka). 

Di sini, harga saham ARTO sebelum diakuisisi itu super tidak likuid dan berada di Rp200-an per saham. Sampai akhrinya, ada aksi akuisisi dan muncul rumor ARTO akan dijadikan Bank Gojek. Harga saham ARTO mulai naik ke Rp1.000-an per saham. 

Pertanyaannya, saat harga saham ARTO mulai melejit dari Rp200 per saham menjadi Rp1.000 per saham, terus ada yang beli saham ini di harga tinggi Rp1.000-an per saham, apakah dia termasuk Greater Fool? 

Jawabannya sama, belum tentu juga. Jika dia beli saham ARTO dengan memiliki alasan bank yang bekerja sama dengan perusahaan teknologi terbesar di Indonesia tidak layak dihargai hanya sekadar Rp1.000 per saham. Dalam hal ini, dia bermain sentimen pasar, berarti dia tidak termasuk Greater Fool.

Sosok Greater Fool justru adalah yang terlalu yakin, harga saham ARTO sudah di Rp18.000 per saham, dan dia menyakini harga saham itu akan naik lagi karena melihat historis pergerakan saham ARTO sangat kencang. Kenapa begitu? karena dia tidak mempertimbangkan risiko beli saham ARTO, bank skala kecil, meski diakuisisi oleh Gojek, dihargai dengan valuasi yang kala itu lebih tinggi daripada BBCA, sebagai bank swasta besar di Indonesia. 

Apalagi, pergerakan harga saham itu sesuai supply and demand. Jika harga sudah terlalu tinggi, tingkat daya beli makin turun. Jika penggerak daya beli sudah mulai turun, pergerakan harga tidak akan seagresif sebelumnya. Namun, investor ini tetap nekat masuk ke saham ARTO dengan alasan atau mungkin bisikan temannya, ini saham terafiliasi Gojek dan Tokopedia, pasti bisa dihargai lebih tinggi dan mengalahkan BBCA. 

Hasilnya, ya jika dia tetap percaya diri hold saham ARTO hingga saat ini, kita tidak bisa tahu kapan dia bisa keluar dengan cuan dari saham bank digital tersebut. Mungkin, sampai skala bisnis ARTO tumbuh agresfi secara organik yang butuh 10-30 tahun. Itu pun kalau tidak kena masalah siklus krisis 10 tahunan.

Memahami Risiko BREN dari Pasang-Surut Saham ARTO
Saham BREN jadi yang paling dibicarakan sepanjang 3 bulan terakhir. Setelah naik 700-an persen dalam 3 bulan terakhir, bagaimana prospek dan risiko saham ini?

Kisah Saham PANI

Kisah terakhir adalah cerita tentang PANI, saham yang dulunya nggak likuid dengan bisnis makanan olahan laut kalengan (kalau tidak salah), yang skala bisnisnya mungkin kayak UMKM-lah. TIba-tiba right issue jumbo, yang ternyata berujung terhadap aksi backdoor listing Agung Sedayu punya Aguan, salah satu dedengkot pebisnis properti di Indonesia. 

Harga saham PANI waktu itu sekitar di Rp100 - Rp300 per saham. Tiba-tiba jelang rumor right issue mulai naik hingga Rp800-an per saham. Lalu, ada investor masuk di angka Rp800-an per saham. Apakah dia seorang Greater Fool? 

Jawabannya belum tentu. Jika dia memiliki informasi lebih cepat terkait rencana akuisisi oleh Agung Sedayu lewat right issue tersebut, berarti dia punya alasan kuat masuk di harga lebih tinggi. Meski, kadang informasinya baru bersifat rumor saja sih.

Di sini, tinggal keberanian masuk mengikuti rumor tersebut atau memilih jalan aman dengan menghindari saham berfluktuasi tinggi seperti itu. Jika investor ini memiliki perhitungan ini adalah backdoor listing dan secara historis harga saham punya fluktuasi tinggi setelah aksi korporasi itu, maka dia akan mencoba masuk secara bertahap dengan memahami risikonya adalah kerugian yang besar.

Lalu, setelah saham PANI tembus Rp2.000-an per saham. Lalu, ada investor yang beli, apakah termasuk Greater Fool? tentu juga tidak jika dia punya alasan dan keyakinan seluruh sentimen belum diumumkan, seperti Agung Sedayu akan oper bisnis PIK II ke PANI. Soalnya, dengan alasan itu dia punya fondasi kuat kenapa berani masuk di harga tinggi, yakni kinerja bisnis dan tahu juga risiko besar jika asumsi itu tidak terjadi.

Seorang Greater Fool adalah ketika dia masuk karena sifatnya ikut-ikutan. Misalnya, karena PANI lagi naik ke Rp2.000 per saham, dia berani masuk ke situ dengan harapan PANI pasti bisa ke Rp4.000 per saham.

Lalu, apakah seorang Greater Fool pasti rugi? belum tentu, jika dia tidak rakus, dia bisa cuan. Namun, jika dia rakus, sudah cuan tapi berharap lebih,maka dia bisa rugi.

Saham PANI, Emiten Properti Terbesar Hingga Wajar Meroket?
Siapa yang lagi tergila-gila saham PANI hingga dibutakan dan menilai saham ini adalah saham properti terbesar di BEI? baca deretan fakta saham PANI dibandingkan saham properti lainnya di sini.

Kesimpulan

Kisah Greater Fool bisa banyak terlihat di saham booming seperti, KAYU, BREN, CUAN, dan lainnya. Khusus saham BREN dan CUAN, saya sudah menjelaskan kenapa saham ini bisa melejit, karena porsi ritelnya cuma di bawah 1 persen dari total saham beredar, meski free floatnya terlihat besar. Untuk itu, pergerakan harga sahamnya bisa menjadi sangat fluktuatif karena supply sedikit, demand pemburu cuannya banyak. 

Jadi, intinya seorang Greater Fool dalam investasi entah saham dan crypto adalah mereka yang membeli saham karena saham itu lagi naik. Dengan beberapa skema seperti:

  • Dia sudah cuan besar di salah satu saham, tapi pas dia jual, ternyata sahamnya lanjut naik. Akhirnya, dia masuk ke saham itu dengan harga tinggi, dan memiliki ekspektasi bisa cuan seperti saat pertama kali investasi di sana. Hasilnya? kebanyakan malah jadi rugi seperti kisah termashur adalah nyagkutnya Isaac Newton di saham South Sea Company. 
  • Ada investor yang memang maunya beli saham yang sudah naik, karena dia merasa jika membeli saham yang lagi turun itu rugi tanpa melihat fundamentalnya. Akhrinya, dia selalu beli saham yang sudah naik tinggi, dan hitungannya berpotensi lebih banyak rugi. 
  • Ada investor yang FOMO berat melihat teman-temannya bisa cuan di salah satu saham. Akhirnya, dia beli saham itu di harga tinggi tanpa mempertimbangkan kalau temannya bisa cuan karena beli di harga bawah. Hasilnya, ya dia juga mengalami rugi. 

Bagi mereka yang masuk di saham dengan deretan alasan di atas, dan mengalami kerugian parah.Di sini, mulai muncul kalimat kalau saham itu judi. Padahal, itu terjadi karena mereka tidak memahami secara detail apa risiko dan peluang dari aset yang akan dibelinya. Padahal, jika mengetahuinya, investor bisa menilai apakah investasi itu memiliki risiko yang worth it dengan peluangnya atau tidak.

Untuk itu, bagi kamu yang ingin cuan di saham dan spesifikasinya tidak punya banyak waktu mantau chart teknikal, lebih baik beli saham saat lagi murah atau di siklus terbawahnya, tapi tetap perhatikan fundamentalnya bagus atau tidak. Dengan begitu, kami bisa mendulang cuan dalam waktu 1-3 tahun dengan nominal yang lumayan. 

Ditambah, jika kamu beli saham dividen, keuntungannya bisa berganda. Dari beli sahamnya berada di siklus terbawah atau saat kinerja turun, tapi secara fundamental bisnis cukup kokoh. Berarti ketika bisnis bangkit, kamu akan mendapatkan keuntungan dari apresiasi kebangkitan kinerja lewat kenaikan harga sahamnya, serta dari dividen yang juga bisa bertumbuh sesuai dengan pemulihan bisnis. 

Gimana cari saham dividen yang lagi murah? Kami ingin ajak kamu ikut Event Online Perdana Mikirduit, bertajuk “Strategi Investasi Saham Dividen yang Cuan" di 23 Maret 2024 pukul 13:00 WIB. Kalau kamu mau ikutan bisa join ke Mikirdividen dengan ikutin stepnya di bawah ini.

MEMBURU DIVIDEN DI MUSIM RUPS TAHUNAN? YUK BELAJAR DAN DAPATKAN PILIHAN SAHAM DIVIDEN TERBAIK DI MIKIRDIVIDEN

Kalau kamu beli #Mikirdividen edisi bundling ini, kamu bisa mendapatkan:

  • Update review laporan keuangan hingga full year 2023-2024 dalam bentuk rilis Mikirdividen edisi per kuartalan (HINGGA Maret 2025)
  • Perencanaan investasi untuk masuk ke saham dividen
  • Grup Whatsapp support untuk tanya jawab materi Mikirdividen
  • Siap mendapatkan dividen sebelum diumumkan (kami sudah buatkan estimasinya)
  • Publikasi eksklusif bulanan untuk update saham mikirdividen dan kondisi market

Tertarik? langsung saja beli Zinebook #Mikirdividen dengan klik di sini

Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini