Fakta di Balik Opini Analisis Fundamental Sudah Mati
Gara-gara pasar saham lagi bearish dan yang melonjak saham gorengan, muncul istilah analisis fundamental saham sudah mati. Tapi apakah benar?
Mikirduit – Banyak muncul lagi opini yang bilang analisis fundamental sudah mati karena saham yang naik rata-rata adalah gorengan. Namun, apakah itu benar?
Analisis fundamental ini berarti analisis yang dilakukan secara menyeluruh dari angka-angka laporan keuangan hingga informasi yang didapatkan langsung di lapangan dan dibuatkan angka-angka proyeksinya sehingga akan terlihat asumsi harga wajar dari sebuah emiten itu seperti apa.
Selain itu, untuk mencari harga wajar bisa juga dengan valuasi relatif seperti PE dan PBV yang digabungkan dengan perbandingan secara sektoral atau historical-nya. Untuk skema valuasi PE dan PBV ini menggunakan asumsi kuantitatif berdasarkan analisis di laporan keuangan.
Lalu, apakah analisis fundamental sekarang sudah ketinggalan zaman karena saham yang naik justru fundamentalnya tidak bagus? jawabannya tentu saja tidak.
Basis saham adalah bisnis perusahaan sehingga analisis fundamental sangat berfungsi untuk menilai prospek bisnis perusahaan tersebut dan bisa menggambarkan prospek harga saham yang wajarnya bisa di berapa. Jika kita menganggap analisis fundamental tidak penting, berarti dalam benak kita, saham yang diperjualbelikan ini hanya barang kosong tanpa underlying asset.
Bayangkan jika semua saham yang naik tidak punya bisnis yang jelas, atau bisnisnya cuma laba Rp10 miliar, tapi market cap-nya Rp100 triliun. Tapi karena harga sahamnya naik semua berburu ke saham tersebut hingga menjadi gelembung yang pecah dan semuanya merugi.
Lalu, kenapa saham fundamental bagus malah turun semua?, kan jadinya khawatir kayak UNVR yang turun terus tanpa henti.
Jawabannya karena kondisi ekonomi makronya juga tidak begitu bagus dan posisi suku bunga cukup tinggi. Bicara fundamental, salah satu korelasi yang cukup kuat ada di data ekonomi makro. Jika ekonomi makro lemah berarti prospek pertumbuhan bisnis akan lebih lambat.Hal itu membuat daya tarik masuk ke saham fundamental bagus menjadi lebih rendah. Untuk itu, harga saham fundamental oke cenderung stagnan dan koreksi pada 2023-2024. Hal ini disebabkan posisi suku bunga yang tinggi hingga normalisasi harga komoditas yang membuat penerimaan ke pemerintah Indonesia juga melambat.
Kejadian di 2014-2015
Hal serupa pernah terjadi pada 2014-2015, ketika The Fed mulai ancang-ancang menaikkan suku bunga pertama kalinya sejak krisis 2008, serta saat itu harga komoditas juga rendah banget. Sehingga secara ekonomi makro kurang bagus, efeknya mempengaruhi fundamental dari saham fundamental bagus seperti big bank, serta harga sahamnya juga.
Misalnya, laba bersih BBRI mulai melambat pada 2011 setelah hanya tumbuh 31 persen dibandingkan dengan kenaikan 56 persen pada 2010. Namun, puncak terjadi di 2015, ketika laba bersih hanya tumbuh 4,77 persen.
Harga saham BBRI pun mulai turun sejak 22 April 2015 hingga 30 November 2016. Penurunannya bukan yang terus turun, tapi kecenderungan sideways di harga bawah sebelumnya. Rata-rata harga saham BBRI setelah penurunan sekitar Rp2.266 per saham* (nominal telah disesuaikan dengan harga stock split) dibandingkan dengan harga sebelum penurunan di sekitar Rp2.600. Lalu, rentang harga terendah yang sempat dicapai senilai Rp1.500-an per saham, dengan harga tertinggi saat periode bearish tersebut ada di Rp2.400 per saham.
Pola yang sama juga terjadi di BMRI yang mulai mencatatkan perlambatan kinerja sejak 2012. Laba bersih BMRI melambat setelah tumbuh 26,6 persen atau lebih rendah dari periode 2011 yang tumbuh 30,71 persen. Puncaknya, tekanan kinerja keuangan BMRI terjadi di 2015 setelah laba bersih hanya tumbuh 2,33 persen. Ditambah, 2016 mencatatkan penurunan 32 persen karena ada masalah kredit bermasalah di segmen komersial yang agak besar.
Selaras dengan itu harga saham BMRI mengalami penurunan sejak 30 Maret 2015 hingga 30 Juni 2016 sebesar 28,68 persen. Rentang harga terendah selama periode bearish tersebut senilai Rp1.790 per saham (nominal sudah disesuaikan dengan stock split), sedangkan harga tertinggi saat periode penurunan di 2900-an per saham. Dengan angka harga saham BMRI sebelum penurunan 2015-2016 senilai Rp3.100 per saham.
Pola serupa juga terjadi di BBNI yang mulai mencatatkan perlambatan laba bersih pada 2011 setelah laba bersih hanya tumbuh 41,99 persen dibandingkan dengan 64,98 persen pada 2010. Puncaknya terjadi di 2015 ketika BBNI mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 15,91 persen.
Hal itu membuat harga saham BBNI mengalami penurunan dari 1 Juni 2015 sampai 12 Mei 2016 sebelum akhirnya kembali melaju naik lebih tinggi. Harga terendah saham BBNI saat periode penurunan selama hampir 1 tahun itu senilai Rp1.919 per saham (harga telah disesuaikan dengan stock split). Lalu, rentang tertingginya di RP3.012 per saham, sedangkan harga BBNI sebelum penurunan senilai Rp3.676 per saham.
Bahkan, saham kapal induk seperti BBCA juga mengalami penurunan dan sideways sekitar setahun di harga bawah karena tekanan kinerja banking pada 2014-2015.
Kinerja laba bersih BBCA mulai melambat pada 2012 setelah laba bersih hanya tumbuh 8,35 persen, dari sebelumnya tumbuh 24,56 persen. Namun, laba bersih BBCA sempat naik lagi sebesar 21,6 persen pada 2013. Namun mulai melambat di 2014 dan 2015. Terakhir di 2015 hanya mampu tumbuh 9,3 persen.
Hal itu berefek ke harga saham perseroan yang mencatatkan penurunan sejak 7 April 2015 - 29 Juni 2016. Rentang harga terendah BBCA dalam fase bearish itu sekitar Rp2.199 per saham, sedangkan harga tertinggi saat fase penurunan itu sekitar RP2.788 per saham dengan harga sebelum penurunan sebesar Rp3.109 per saham.
Kesimpulan
Jadi, fundamental sebuah saham yang bagus bukan berarti membuat harga sahamnya selalu naik setiap waktu karena perkembangan fundamental disesuaikan juga dengan kondisi ekonomi makro. Jika kondisi ekonomi makro, kebijakan moneter, dan lainnya tidak mendukung pertumbuhan ekonomi global, jelas saham-saham fundamental cenderung bergerak kurang menarik.
Namun, sebaliknya, saham yang naik tanpa fundamental yang kuat itu berisiko jika dijadikan instrumen investasi alasannya basis alasan untuk bertahan lama di saham yang valuasi mahal ini tidak ada yang cukup kuat. Saham-saham yang harganya bergerak tidak sesuai fundamental itu hanya cocok untuk trading karena ada momen fluktuasi yang cukup tinggi.
Terpenting, kita tidak terlena dengan asumsi fundamental bagus di masa lalu. Jika ada perubahan fundamental yang signifikan dan bukan disebabkan faktor eksternal, lebih baik dipantau atau segera exit agar kejadian seperti di UNVR tidak terjadi.
Adapun, kami menilai periode penurunan saham big bank sudah mulai di ujung dengan asumsi suku bunga mulai turun dan bank bakal bisa menyesuaikan margin untuk mencatatkan keuntungan lebih tinggi. Jika kinerja kuartal I/2025 atau kuartal II/2025 terlihat lebih oke, kami menilai saham big bank bisa bangkit secara perlahan mulai semester II/2025.
Jadi ingat, fundamental bukan menjamin harga saham akan selalu naik, tapi menjadi patokan kita untuk bisa hold saham tersebut lebih lama karena yakin punya potensi pertumbuhan bisnis yang oke dengan dividen menarik, serta potensi risiko bisnis yang lebih rendah. Jadi, masih berpikir analisis fundamental sudah mati?
LAST CALL PROMO JOIN MIKIRDIVIDEN CUMA RP400.000 PER TAHUN SAMPAI 31 DESEMBER 2024
Jika kamu ingin tahu atau mau langsung gabung ke Mikirdividen, kamu bisa klik di sini . Ada promo spesial diskon langsung Rp200.000 untuk langganan setahun! CUMA SAMPAI 31 Desember 2024 dan Kuota terbatas!
Jika ingin langsung transaksi bisa klik di sini
Langganan Sekarang dan dapatkan Fix Rate perpanjangan seperti harga pembelian pertama selama dua tahun ke depan.
Beberapa benefit tambahan di tahun depan:
- IPO Digest Premium
- Saham Value dan Growth Bulanan yang Menarik
- Update porto Founder Mikirduit per 3 bulan
Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini