Fakta Short Selling, Beneran Bisa Bikin Market Crash?

Rencana BEI kembali mengadakan short selling di Indonesia langsung direspons heboh, sampai bilang short selling bisa bikin market crash. Lah, emang benar? simak faktanya di sini

Fakta Short Selling, Beneran Bisa Bikin Market Crash?

Mikirduit – BEI tengah berdiskusi dengan OJK untuk kembali menerapkan short selling di pasar saham Indonesia. Lalu, banyak yang khawatir kalau short selling itu bisa bikin market crash. Sebenarnya, apa short selling ini? dan bagaimana penerapannya di dunia?

Short sell bisa dibilang aksi jual kosong, dalam artian, ada trader yang jual saham tanpa memilikinya terlebih dulu. Berikut ini skema dari short selling. 

Pertama, ada trader yang memperkirakan harga saham akan turun. Misalnya, kita anggap saham BBRI yang saat ini di Rp4.100 per saham bisa turun lagi. Jadi, trader itu mau jual BBRI di harga saat ini tanpa memiliki sahamnya. Caranya dengan mengontak sekuritas untuk melakukan short selling. 

Kedua, sekuritas mencarikan saham BBRI yang akan dipinjamkan ke trader tersebut. Lalu, trader itu akan menjual saham tersebut di harga Rp4.100 per saham. Tapi, trader tersebut harus mengembalikan saham yang dipinjamnya tadi, dalam bentuk saham lagi tentunya. 

Ketiga, jika harga saham BBRI sesuai ekspektasi mengalami penurunan, trader bisa melakukan buyback untuk membeli saham yang dipinjamnya tadi. Misalnya, saham BBRI turun ke Rp3.500 per sahan. Berarti, trader tadi cukup mengembalikan saham yang dipinjam senilai Rp3.500 per saham alias untung sekitar Rp600 per saham. 

Masalahnya, jika harga saham malah naik, berarti trader yang melakukan short selling tadi itu bisa mengalami kerugian. Soalnya, harus mengembalikan saham dengan harga yang lebih tinggi. 

Pertanyaannya, apakah short selling bisa membuat harga sebuah saham crash? 

Jawabannya belum tentu karena akan tergantung tingkat likuiditas saham yang akan di short selling. Jika saham yang di-short selling tidak begitu likuid, saat ada yang melakukan aksi penjualan kosong, harga sahamnya berpotensi koreksi. Semakin nggak likuid berarti semakin parah penurunannya. 

Namun, jika saham itu tidak likuid ada banyak faktor seperti free float yang kecil. Dengan begitu, eksposure untuk melakukan penjualan kosong juga jadi terbatas. 

Apalagi, Indonesia masih menerapkan auto reject atas dan bawah sesuai dengan harga sahamnya. Sehingga penurunan dan kenaikan cenderung terbatas. Para trader short selling juga tidak mengharapkan harga saham sampai ARB karena akan susah untuk melakukan buyback dan jadi kena cost tenggat waktu peminjaman saham. 

Jadi, seharusnya short selling yang ada di Indonesia bisa membantu meningkatkan likuiditas dan tidak terlalu membuat efek market crash. Meski, ada satu catatan yang harus diperhatikan adalah pasar saham Indonesia berkali-kali membekukan fasilitas short selling dalam 2 dekade terakhir. Kenapa ya?

Fenomena Short Selling di Indonesia

Ada salah satu kejadian short selling fenomenal yang pernah terjadi di Indonesia. Kejadian itu terjadi pada 1997-an, ketika saham PT Bank Pikko Tbk. (sekarang Bank J Trust eks Century Bank) digoreng oleh Benny Tjokrosaputro dan kawan-kawan. Pergerakan harga Bank Pikko, yang bisa dibilang bukan bank besar dan antah berantah, melejit drastis. Dalam beberapa sumber ada yang bilang naik sampai 200 persen, tapi ada juga yang bilang naik hingga 20 persen dalam sehari. 

Di sisi lain, dalam periode sama, ada beberapa spekulan yang prediksi harga saham Bank Pikko akan turun. Sehingga, mereka melakukan aksi short selling di saham bank tersebut. Sayangnya, harga saham Bank Pikko naik tinggi sehingga ada sektiar 52 dari 127 perusahaan efek yang gagal menyerahkan saham Bank Pikko karena kenaikan harga yang signifikan tersebut. 

Sementara itu, selain kejadian itu, BEI juga beberapa kali membekukan aksi short selling di bursa. Periode itu terjadi pada 2008 saat bubble Bakrie pecah beriringan dengan krisis keuangan di 2008, lalu penurunan pasar saham pada 2015, dan terakhir saat pandemi Covid-19 pada 2020. 

Periode pembekuan fasilitas short selling itu rata-rata terjadi saat kondisi pasar tertekan faktor eksternal. Sehingga jika ada yang melakukan short selling, ada potensi market makin tertekan. 

Jadi alur logikanya, saat market normal, short selling tidak bisa buat market jadi crash. Hal yang bisa terjadi dalam short selling adalah dirugikannya pihak yang melakukan short selling jika ternyata ada manipulasi harga naik seperti yang dilakukan oleh Bentjok pada 1997. 

Hal serupa dengan konteks berbeda juga dialami di pasar saham AS. Kala itu, pada akhir 2020, banyak broker dan hedge fund yang melakukan short selling ke saham Game Stop. Alasannya, secara bisnis Game Stop juga sudah tertekan sehingga mereka ingin mengambil cuan dengan melakukan short selling. 

Namun, Forum Wallstreetbets di Reddit memancing sekitar 3,9 juta investor di forum tersebut untuk melakukan aksi beli saham Game Stop. Alhasil, saham Game Stop bukannya turun malah naik. Akhirnya, para investor jumbo yang melakukan short selling itu mengalami kerugian cukup parah. 

Salah satunya, Melvin Capital yang jual saham Gamestop di 5-6 dolar AS per saham, terpaksa harus buyback di 31 dolar AS per saham. Artinya, tingkat kerugiannya hampir mencapai 6 kali lipat.

Saham PTBA vs ANTM, Mana yang Terbaik?
Dua saham tambang BUMN di bawah kendali MIND ID ini sudah murah, kira-kira mana pilihan yang terbaik ya?

Apa yang Terjadi dengan Kebijakan Short Selling di China dan Korea Selatan?

Kami melihat beberapa media massa membuat berita tentang korban Short Selling seolah-olah fitur ini sesuatu yang baru dan menyeramkan bagi pasar di Indonesia. 

Salah satu yang menggelitik dari beberapa berita itu antara lain kisah short-selling makan korban dari bursa China, Korea, dan Amerika Serikat (AS). Namun, kita harus pahami konteks yang terjadi di tiga negara tersebut. 

Misalnya, pasar saham China mengalami tekanan di awal tahun karena ada gempa kuantitatif yang disebabkan aksi jual otomatis para hedge fund dengan metode kuantitatif. 

Merespons, penurunan pasar saham itu, regulator China bertindak cepat seperti membatasi transaksi para hedge fund kuantitatif. 

Selain itu, salah satu kebijakan yang dilakukan agar pasar sahamnya tidak turun lebih jauh adalah dengan membekukan fasilitas short selling sementara. Hal ini juga dilakukan Indonesia beberapa kali saat pasar saham turun seperti pada 2008, 2015, dan 2020. 

Jadi alur logikanya, bukan pasar saham turun karena short selling, tapi short selling dihentikan dulu agar pasar saham tidak turun lebih dalam. Soalnya, kalau market lagi bearish, pastinya jadi makanan short seller yang bisa bikin pasar saham makin turun.

Sementara itu, Korea tengah melarang aksi short selling hingga kuartal I/2025 dengan tujuan untuk fokus mengembangkan sistem dan pengendalian insider trading. 

Jadi, bursa Korea lagi membangun sistem agar risiko manipulasi pasar lebih rendah, termasuk via Short selling tersebut. 

Sementara, fenomena short selling di AS terjadi lebih merugikan big fund yang terkait saham Gamestop yang terjadi sejak akhir 2020 hingga saat ini. 

Kesimpulan

Short selling bukan sebuah fasiltias yang bisa bikin market crash jika dijalankan tanpa manipulasi. Untuk itu, sebenarnya yang penting bukan apakah short selling ini ada atau tidak, melainkan bagaimana penerapannya agar bisa menghindari potensi manipulasi harga. 

Dalam kondisi pasar saham yang normal, short selling akan menjadi daya tarik untuk meningkatkan likuiditas di market, serta menambah pundi-pundi pendapatan broker. (ini kurang tahu tapi setidaknya ada aktivitas pinjam meminjam yang bisa mendatangkan tambahan pendapatan) 

Keberadaan short selling ini bak pedang bermata dua, tidak selalu bandar yang dimenangkan. Bandar yang short selling bisa juga dibantai oleh bandar lainnya. Lalu, bagi broker bisnis short selling juga berisiko jika mereka melakukan skema peminjaman saham ganda, dalam artian mereka memberikan pinjaman saham ke trader short selling dengan cara meminjam saham lainnya dari pihak lain. Ada risiko gagal serah yang terjadi di sana. 

Namun, catatan kami, tampaknya kebijakan short selling kurang pas diterapkan dalam kondisi pasar saham Indonesia saat ini yang mulai masuk fase puncak tren bearish. Fasilitas itu akan menarik saat market dalam fase bullish. Sehingga, pasar saham semakin likuid bukan menciptakan frustasi di pasar. 

Kalau kamu setuju atau tidak dengan dikembalikannya fasilitas short selling ini?

Telah Dirilis Ulasan 31 Saham Dividen Paling Oke untuk Jangka Panjang Periode 2024

Yuk join Mikirdividen sekarang juga, kamu akan mendapatkan semua benefit di bawah ini:

  • Update review laporan keuangan saham dividen fundamental bagus hingga full year 2024 dalam bentuk rilis Mikirdividen edisi per kuartalan
  • Perencanaan investasi untuk masuk ke saham dividen
  • Grup Whatsapp support untuk tanya jawab materi Mikirdividen
  • Publikasi eksklusif bulanan untuk update saham mikirdividen dan kondisi market
  • Event online bulanan

Tertarik? langsung saja beli Zinebook #Mikirdividen dengan klik di sini

Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini