First Republic Bikin Pasar AS Ketar-ketir, Gimana Nasib Bank di Indonesia?
First Republic bikin regulator keuangan di AS ketar-ketir. Jika AS benar-benar alami krisis keuangan, bagaimana dengan nasib bank di Indonesia?
Mikir Duit – Krisis perbankan di Amerika Serikat (AS) berpotensi terus berlanjut setelah First Republic mencatatkan adanya pencairan dana pihak ketiga seperti tabungan dan deposito yang cukup masif sepanjang kuartal I/2023. Namun, apakah ini jadi pertanda risiko krisis perbankan di AS benar-benar akan terjadi? bagaimana dengan kondisi bank di Indonesia?
Setelah bangkrutnya Sillicon Valley Bank (SVB) pada awal 2023, beberapa bank daerah dan skala menengah kecil memang jadi rentan dari aksi rush money. Termasuk First Republic Bank, yang merupakan salah satu bank daerah di AS. Penyebabnya, banyak nasabah di bank-bank kecil itu memiliki jumlah simpanan yang tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan di AS.
Untuk menyelamatkan dananya, beberapa pemilik dana pun menarik uangnya dari bank-bank tersebut. Efeknya, beberapa bank daerah dan menengah kecil pun terancam kesulitan likuiditas alias dana yang siap disalurkan untuk kredit atau ada kebutuhan penarikan dana dari masyarakat lainnya.
Sebenarnya, First Republic sudah dibantu oleh beberapa bank besar yang patungan kasih pinjaman senilai 30 miliar dolar AS demi kelangsungan hidupnya. Lalu, First Republic juga meminjam dari Federal Reserve (The Fed) dan beberapa kreditur lainnya senilai 92 miliar dolar AS.
Namun, investor AS terkejut dengan data jumlah penarikan uang tunai di First Republic sepanjang kuartal I/2023 tembus 102 miliar dolar AS dari total dana pihak ketiga 176 miliar dolar AS. Artinya, First Republic sudah kehilangan lebih dari 50 persen dana pihak ketiganya dalam satu kuartal.
Banyak yang bertanya-tanya bagaimana nasib First Republic serta bank-bank kecil yang berpotensi terkena aksi rush money lanjutan lainnya. Dari ketakutan itu, harga saham First Republic pun ikut turun drastis hanya dalam semalam.
BACA JUGA: Credit Suisse Bikin Panik Satu Bumi, Begini Kronologinya
Pandangan Analis Tentang Nasib Perbankan di AS
First Republic sudah angkat tangan untuk mencari cara meningkatkan kepercayaan para pemilik dana besar agar tetap simpan uang di-banknya. Bahkan, First Republic sudah mulai ambil langkah melakukan pemutusan hubungan kerja sebanyak seperempat dari total tenaga kerjanya. Lalu, memangkas gaji para eksekutif dengan jumlah yang belum ditentukan besarannya.
Kondisi yang terjadi di First Republic benar-benar membuat galau. Saat The Fed masih berkukuh menaikkan suku bunga acuan, mereka harus dihadapkan pilihan dengan kondisi bank menengah kecil yang terancam bangkrut.
Untuk saat ini, The Fed tidak bisa seenaknya membuat relaksasi kemudahan akuisisi bank gagal seperti pada 2008. Salah satu jalan ada di tangan LPS AS yang bisa membuat bank gagal dan mengeluarkan kebijakan pengecualian untuk kasus bank sistemik yang butuh persetujuan pejabat lainnya.
Masalahnya, jika mengambil jalan bank yang bangkrut jadi bank gagal, regulator di AS harus memutuskan apakah akan menjamin juga dana nasabah yang tidak sesuai ketentuan atau tidak. Keputusan itu sulit diputuskan karena sama-sama memiliki risiko besar.
Jika dana yang tidak dijamin juga menjadi ikut dijamin, uang untuk penjaminannya dari mana? namun kalau tidak dijamin, berarti akan efek ke kepercayaan kepada bank di AS serta bisa berefek sistemik ke perekonomian.
Profesor Keuangan Universitas New York Aswath Damodaran mengatakan ini adalah masalah kepercayaan, seperti halnya bank manapun, ketika kepercayaan hilang, maka uang nasabah juga akan ketarik dan bank kehilangan uang.
Pakar Regulasi Keuangan Sekolah Hukum Columbia Kathryn Judge menilai memang tidak ada pilihan mudah untuk menyelesaikan masalah First Republic. Jika ada solusi mudah, pasti mereka [Regulator dan First Republic] akan mengambil langkah tersebut.
Publikasi Bulanan 23 Digest: Bank Menengah Kecil di AS Terancam Bangkrut, Harap-harap Cemas Krisis Keuangan?
Krisis Bank yang Bisa Meledak Jika Suku Bunga Tetap Tinggi
Menariknya, dalam kertas kerja pada 23 Maret 2023, Biro Riset Ekonomi Nasional di AS mempublikasikan kalau bank-bank kecil dengan porsi simpanan yang tidak dijamin yang besar berpotensi mengalami kebangkrutan jika posisi suku bunga acuan The Fed tetap tinggi.
Soalnya, bank mau tidak mau bakal mematok suku bunga simpanan lebih tinggi agar para deposan atau orang yang menyimpan uang tidak menarik dananya. Artinya, beban bunga yang harus dikeluarkan bank makin tinggi dan mempengaruhi profitabilitas bank.
Di sisi lain, bank-bank kecil dan daerah rata-rata menyalurkan kredit sekitar 70 persen dari total kredit UMKM di AS. Masalahnya, dengan banyaknya terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) membuat bisnis-bisnis UMKM juga terancam lesu. Dengan begitu, potensi terjadinya risiko kredit bermasalah sangat besar.
Artinya, ketika beban bunga tinggi dan terjadi kredit bermasalah yang tinggi juga, berarti bank harus menyiapkan permodalan yang besar. Hal itu dilakukan untuk bayar bunga tinggi demi menjaga jumlah simpanan dan juga pencadangan risiko kredit bermasalah menjadi macet.
Dengan kondisi pelik perbankan di AS, bagaimana dengan kondisi perbankan di Indonesia?
Kondisi Perbankan di Indonesia
Tenang, kondisi perbankan di Indonesia sejauh ini baik-baik saja. Buktinya kinerja keuangan bank kuartal I/2023, terutama bank besar, hasilnya cukup baik. Tercatat hanya PT Bank Panin Tbk. (PNBN) yang mencatatkan penurunan kinerja akibat tren pertumbuhan pendapatan bunga bersihnya juga melambat. Di sisi lain, secara keseluruhan bank di Indonesia masih percaya diri dengan mengurangi porsi pencadangan sehingga bisa mencatatkan laba yang fantastis, terutama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI).
Secara nasional, tren pertumbuhan dana pihak ketiga seperti tabungan, deposito, dan giro per Februari 2023 mencatatkan pertumbuhan sebesar 9,11 persen menjadi Rp7.775 triliun dibandingkan dengan periode sama tahun lalu. Menariknya, pertumbuhan simpanan paling agresif secara persentase berasal dari giro yang naik hingga 19,1 persen. Artinya, aktivitas simpanan giro yang naik ini berhubungan erat dengan transaksi dunia usaha yang bagus.
Apalagi, dari segi pertumbuhan kredit, perbankan Indonesia mencatatkan pertumbuhan sebesar 10,4 persen menjadi Rp6.348 triliun dibandingkan dengan Februari 2022. Meski, kenaikan kredit mayoritas didorong oleh kredit modal kerja, yang menjadi pertanda aktivitas ekspansi bisnis belum terlalu masif.
Lalu, kondisi rasio kredit bermasalah gross di Indonesia juga masih terjaga di level 2,58 persen. Masih berada di level aman di bawah 3 persen.
Kesimpulan
Kondisi perbankan di AS ini masih harus menjadi perhatian karena aksi rush money itu sifatnya menular dan bisa langsung melumpuhkan perekonomian satu negara. Efek terbesar jika sistem keuangan AS berantakan gara-gara bank gagal adalah seperti pada 2008, terjadi krisis finansial yang juga berefek ke pasar saham di seluruh dunia.
Ketika AS mengalami krisis keuangan, akan banyak investor asing yang membawa uang besar mengamankan dananya ke obligasi negara AS atau emas. Hal itu membuat adanya aksi jual besar di pasar saham seluruh dunia. Namun, biasanya efek dari hal itu tidak begitu lama, paling lama satu setengah tahun seperti pandemi Covid-19.
Untuk kondisi perbankan di Indonesia ini masih baik-baik seja. Kecuali, ternyata setelah krisis keuangan di AS membuat risiko kredit bermasalah di dunia menjadi meningkat. Ini juga akan membawa masalah ke perbankan di Indonesia.
Semoga saja efek kekacauan perbankan di AS tidak menjalar ke ekonomi global ya. Biar pasar saham kita bisa bullish kalau The Fed akhirnya menurunkan suku bunga demi menyelamatkan sistem keuangannya.