The Fed Menaikkan Suku Bunga,Kenapa Pasar Saham yang Koreksi
Ada yang penasaran kenapa kenaikan suku bunga berefek negatif ke saham? Kita ulas lengkap logika kenaikan suku bunga dan pasar saham di sini
Mikir Duit – Sentimen kenaikan suku bunga Federal Reserve alias The Fed, yakni Bank Sentral Amerika Serikat, menjadi cerita panjang sejak akhir 2021 sampai saat ini. Penasaran kenapa kenaikan suku bunga The Fed bikin pasar saham turun, bukan cuma di Amerika Serikat,tapi juga Indonesia? kamu nggak usah pusing lagi, biar kita yang mikir duitnya di sini.
The Fed sudah menaikkan tingkat suku bunga acuannya sebesar 425 basis poin sejak Maret hingga Desember 2022. Tujuan The Fed menaikkan suku bunga secara agresif itu dilakukan untuk menekan laju inflasi yang sempat naik tinggi karena kenaikan harga komoditas sejak akhir 2021 dan ketika perang Ukraina-Rusia terjadi.
Hasilnya, inflasi Amerika Serikat (AS) yang sempat hampir tembus 10 persen sudah mulai melandai ke 6,5 persen pada Desember 2022. Meskipun begitu, tingkat inflasi AS itu masih jauh dari target The Fed sebesar 2 persen.
Lalu, apakah kenaikan suku bunga The Fed bakal tetap lanjut agresif pada tahun ini? jawabannya kemungkinan tidak. Soalnya, efek dari kenaikan suku bunga untuk menurunkan tingkat inflasi itu membutuhkan waktu sekitar 1-3 bulan. Artinya, kenaikan agresif sepanjang 2022 baru mulai terasa mungkin di Maret 2023.
Untuk itu, pelaku pasar berekspektasi kenaikan suku bunga The Fed di awal 2023 mulai melandai dan mungkin bisa menjadi yang terakhir. Pada pertemuan Federal Open Market Commitee (FOMC) di akhir Januari 2023, The Fed diprediksi menaikkan suku bunga cuma 25 bps menjadi 4,5 persen sampai 4,75 persen.
Lalu, kenapa kenaikan suku bunga The Fed selalu menekan pasar saham ya? seperti pada penutupan pasar 31 Januari 2023, seluruh pasar saham di Asia termasuk Indonesia kompak koreksi jelang hasil pertemuan FOMC tersebut.
Hubungan Kenaikan Suku Bunga The Fed Terhadap Pasar Saham
Tujuan kenaikan suku bunga The Fed adalah untuk meredam laju inflasi atau pertumbuhan ekonomi yang dinilai sudah terlalu tinggi. Kenapa laju pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi juga perlu diatasi dengan kenaikan suku bunga? soalnya, pertumbuhan ekonomi yang bagus adalah yang stabil, bukan yang tiba-tiba meroket.
Alasannya, jika pertumbuhan ekonomi terlalu tinggi, berarti ada potensi di tahun selanjutnya pertumbuhan ekonomi bakal melambat. Penyebabnya, basis angka pertumbuhan di tahun sebelumnya yang tinggi belum tentu bisa diimbangi dengan tahun selanjutnya. Untuk itu, pertumbuhan ekonomi juga dijaga stabil dengan kenaikan suku bunga.
Lalu, ketika The Fed menaikkan suku bunga acuannya, berarti mereka juga mau mengerem laju pertumbuhan ekonomi. Ketika laju pertumbuhan ekonomi melambat, artinya ada risiko kinerja emiten di AS mulai melambat. Di sini, banyak investor mulai melakukan aksi ambil untung dengan menjual saham di posisi tinggi dan memindahkan ke aset investasi yang aman seperti obligasi negara AS hingga emas.
Namun, kok bisa kejadian di AS itu berefek juga ke Indonesia yang jauh secara geografis?
Soalnya, ketika The Fed menaikkan suku bunga berarti peredaran dolar AS akan mulai melambat. Hal itu berpotensi mengurangi supply, sedangkan permintaannya berpotensi tetap. Sehingga, dolar AS akan menguat dengan mata uang dunia lainnya, termasuk rupiah.
Hal itulah yang bikin rupiah sempat tembus Rp15.000 per dolar AS pada akhir 2022 hingga Bank Indonesia (BI) mati-matian intervensi agar tidak melemah terlalu dalam.
Akhirnya, salah satu cara agar menjaga kurs rupiah stabil adalah dengan ikut menaikkan suku bunga. Tujuannya, untuk menjaga tingkat keuntungan investasi di Indonesia, terutama produk seperti Surat Berharga Negara (SBN), tetap menarik.
Jadi, investor asing di Indonesia tetap betah dan tidak mengalihkan dananya keluar Indonesia. Dengan begitu, permintaan dolar AS terhadap rupiah tetap terjaga sehingga kurs rupiah lebih stabil.
Namun, kenaikan suku bunga BI juga berdampak kepada pasar saham di Indonesia. Ekspektasi pertumbuhan ekonomi melambat membuat prospek kinerja emiten di Bursa Efek Indonesia juga melambat. Jadi, investor besar pun mulai ambil untung untuk memindahkan ke aset yang lebih rendah risiko, seperti SBN.
Kesimpulan
Jadi, kenaikan suku bunga The Fed itu menimbulkan ekspektasi yang sistemik, seperti berarti tanda BI juga ikut menaikkan suku bunga. Artinya, prospek pertumbuhan ekonomi sedikit lambat hingga berefek ke kinerja emiten untuk ke depannya. Jadi, investor jual mumpung harganya lagi tinggi, sebelum nanti koreksi. Ya, akhirnya pasar saham menjadi koreksi.
Kini, sudah paham kenapa The Fed memberikan efek negatif ke pasar saham, termasuk di Indonesia?
Menariknya, ketika suku bunga The Fed mulai ditahan, ada peluang banyak investor balik ke saham dan memburu yang sudah murah.