Investasi Reksa dana Katanya Nggak Menarik lagi, Mitos atau Fakta?
Investasi reksa dana sudah tidak menarik lagi? apakah hanya narasi media saja atau benar begitu faktanya? kita bongkar datanya di sini
Mikir Duit – Beberapa berita menyebutkan kalau investasi reksa dana mulai ditinggalkan. Mereka mengutip data dana kelolaan reksa dana yang mengalami penurunan jadi penyebab munculnya asumsi tersebut. Namun, apakah itu benar investasi reksa dana mulai ditinggalkan?
Investasi reksa dana adalah instrumen investasi titip dana yang legal di bawah Otoritas Jasa Keuangan. Jadi, investor akan menitipkan dana kepada manajer investasi untuk dikelola oleh para profesional. Jadi, sebenarnya konsep reksa dana sangat cocok untuk pemula.
Namun, bukan berarti investasi reksa dana tidak ada risiko ya, beberapa reksa dana terbilang memiliki risiko cukup tinggi seperti, reksa dana saham, indeks, maupun exchange traded fund (ETF).
Jadi, investasi reksa dana memiliki risiko sesuai dengan aset yang menjadi pilihan untuk penempatan dana. Seperti, saham, indeks, dan ETF yang mengacu ke saham pasti memiliki risiko lebih tinggi daripada reksa dana pasar uang yang mayoritas disimpan di deposito atau pendapatan tetap yang ditempatkan di obligasi.
Meskipun begitu, penurunan nilai dalam aset reksa dana pun bersifat sementara. Soalnya, manajemen investasi yang mengelola dana harus membalikkan kondisi dari rugi menjadi untung. Soalnya, kalau investasi reksa dana tetap rugi, berarti untuk apa konsumen memilih diinvestasikan oleh manajer investasi.
BACA JUGA: Cara Beli 45 Saham dengan Modal Rp100.000
Lalu, Apakah Investasi Reksa dana sudah Tidak Menarik?
Narasi investasi reksa dana tidak diminati lagi memang muncul dari banyak media besar. Namun, data yang dikutip sekadar data keseluruhan yang cenderung masih fluktuatif. Buktinya, data dana kelolaan reksa dana sampai akhir Maret 2023 cenderung naik tipis sebesar 0,55 persen menjadi Rp507 triliun dibandingkan dengan akhir 2022.
Lalu, apa yang menyebabkan dana kelolaan reksa dana kesannya memiliki pertumbuhan yang seret?
Sebelum itu, kita akan jelaskan, dana kelolaan reksa dana adalah total dana investor yang dikelola oleh manajer investasi. Jika jumlah dana kelolaan bertambah, berarti investor memiliki minat tinggi di produk tersebut. Sebaliknya, saat dana kelolaan turun, bisa jadi akibat penurunan harga aset atau memang banyak investor cabut dari instrumen investasi tersebut.
Di sisi lain, pertumbuhan dana kelolaan reksa dana mulai seret karena ada beberapa reksa dana yang mencatatkan penurunan dana kelolaan disebabkan kondisi pasar saham yang kurang bagus.
Dana kelolaan reksa dana saham konvensional dan syariah per Maret 2023 mencatatkan penurunan sebesar 3,24 persen menjadi Rp107 triliun.
Selain itu, reksa dana pasar uang mencatatkan penurunan aset terbesar sebanyak 7,55 persen menjadi Rp82,26 triliun. Penurunan di reksa dana pasar uang tidak ada kaitannya dengan pasar saham, artinya penurunan itu disebabkan adanya penarikan uang dari nasabah.
Biasanya, reksa dana pasar uang dipakai untuk dana darurat. Artinya, beberapa nasabah membutuhkan dana darurat di sana sehingga melakukan penarikan. Hal itu akan selaras dengan tren PHK yang terjadi di startup atau ada big fund yang mencairkan dananya.
Beberapa Investasi Reksa dana yang masih Menarik Perhatian Investor
Investasi reksa dana hampir pasti masih menarik, hal itu terlihat beberapa jenis reksa dana yang justru mencatatkan kenaikan dana kelolaan.
Misalnya, reksa dana campuran menjadi jenis reksa dana yang mencatatkan pertumbuhan dana kelolaan tertinggi sebesar 9,82 persen menjadi Rp24,6 triliun. Disusul exchange traded fund (ETF), sebuah reksa dana pasif yang mengikuti indeks saham seperti LQ45, IDX30, dan lainnya. ETF mencatatkan kenaikan dana kelolaan sebesar 9,38 persen menjadi Rp15 triliun.
Di luar itu, reksa dana yang memiliki dana kelolaan besar seperti reksa dana pendapatan tetap dan terproteksi juga mampu menjadi pertumbuhan dana kelolaannya. Reksa dana pendapatan tetap mencatatkan kenaikan dana kelolaan sebesar 2,05 persen menjadi Rp140 triliun.
Lalu, reksa dana terproteksi juga mencatatkan pertumbuhan dana kelolaan hingga 6,5 persen menjadi Rp104 triliun.
Artinya, di tengah tren kenaikan suku bunga bank sentral, banyak investor yang memburu reksa dana berbasis obligasi.
Perbedaan Reksa dana Terproteksi dan Pendapatan Tetap
Kalau begitu, apa bedanya reksa dana terproteksi dengan pendapatan tetap? reksa dana terproteksi dan pendapatan tetap sebenarnya sama-sama menempatkan dana di obligasi negara.
Bedanya, reksa dana terproteksi hanya bisa dibeli saat penawaran umum dan investor tidak bisa menjual reksa dananya hingga periode yang sudah ditentukan manajer investasi. Kelebihannya, reksa dana terproteksi menjamin 100 persen modal pokok investasi tidak akan tergerus.
Di sisi lain, reksa dana pendapatan tetap juga menempatkan dana di obligasi negara. Namun, reksa dana pendapatan tetap juga bisa menempatkan dana di obligasi korporasi. Lalu, nasabah juga fleksibel mau kapan beli dan jual.
Risikonya, ya karena harga obligasi di pasar juga fluktuatif, berarti ada risiko mengalami penurunan nilai pokok investasi.
Kesimpulan
Sebenarnya, agak tricky memilih investasi di reksa dana pendapatan tetap di tengah tren suku bunga naik. Soalnya, ketika suku bunga bank sentral naik, harga obligasi cenderung turun dan itu bisa berefek kepada posisi harga reksa dana pendapatan tetap.
Sebaliknya, jika suku bunga sudah berada di posisi puncak, sebenarnya itu adalah posisi terbaik untuk beli reksa dana pendapatan tetap. Pasalnya, manajer investasi akan mengatur pembelian obligasi negara terkini dengan kupon tinggi. Sehingga, ketika suku bunga turun nanti, posisi harga reksa dana pendapatan tetap bisa melejit.
Hal itu pula yang mungkin jadi pendorong kenaikan dana kelolaan di reksa dana pendapatan tetap. Nah, dengan data ini, kita bisa menyimpulkan, mau SBN ritel ada dana kelolaan sebesar apapun, tampaknya tidak akan menggerus pesona reksa dana.
Setuju?