Jastip Rugikan Negara? Segini Biaya Kalau Nitip Barang Impor
Bisnis jastip bisa merugikan negara hingga Rp22 triliun. Ada risiko tinggi bagi pembeli, seperti penipuan dan barang palsu. Yuk kenali lebih jauh!
Mikir Duit – Jasa Titip barang dari luar negeri alias Jastip disebut merugikan negara hingga Rp22 triliun. Padahal, jastip adalah salah satu bisnis yang bisa dilakukan tanpa mengeluarkan modal besar, tapi permintaan cukup tinggi. Lalu, apa masalah dari bisnis jastip ini?
Tren jastip muncul setelah banyak masyarakat Indonesia yang keluar negeri dan memahami kalau beli barang-barang dari luar langsung melalui status turis bisa mendapatkan harga yang murah. Soalnya, kalau menunggu produk masuk ke Indonesia itu akan dikenakan berbagai pajak dari bea masuk 10 persen, PPN 11 persen, dan PPh yang disesuaikan dengan jenis produk.
Hal itu membuat banyak orang liburan ke luar negeri sambil menjajakan jasa titip beli barang. Gimmick-nya “Aku lagi ke Jepang nih, siapa yang mau nitip barang, aku tunggu sampai tanggal xx ya”
Perkembangannya, bisnis jastip tidak hanya menggapai konsumen yang dikenal, tapi juga ekspansi ke orang-orang yang tidak dikenal. Mereka biasanya menggunakan platform Whatsapp, Telegram, hingga Instagram untuk menjajakan jasa jastipnya.
Dengan begitu, ada dua tipe bisnis jastip, pertama bisnis jastip untuk menambal ongkos perjalanan ke luar negeri. Kedua, bisnis jastip yang terstruktur hingga punya gudang dan tim di luar negeri.
Risiko Jastip Bagi Konsumen
Bisnis Jastip itu seperti investasi yang menjanjikan keuntungan tinggi, tapi risiko juga tinggi. Seperti, beberapa jasa Jastip menerapkan periode pembelian barang per batch. Dengan kondisi, konsumen tidak bisa melacak sudah sampai mana proses barangnya.
Hal itu wajar karena bisa membeli barang dengan harga yang lebih murah 30 persen sampai 50 persen jika sudah ada di Indonesia. Belum lagi ada beberapa produk yang memang tidak tersedia di Indonesia. Meski ada risiko tiba-tiba barang yang sudah ditunggu malah tidak jadi dibeli sama penyedia jastip.
Namun, risiko terbesar bisnis jastip bukan itu, melainkan aksi penipuan berkedok Jastip. Ini banyak dialammi para pembeli barang dari jastip-ers untuk barang mahal, entah itu gadget hingga tas branded.
Modusnya, dia menawarkan harga jual yang rendah banget. Hal itu menarik minat banyak orang untuk membeli. Namun, setelah membeli, barang tak kunjung sampai, hingga ada kabar kalau barangnya ketawan oleh Bea Cukai. Hal itu membuat pembeli harus mentransfer jumlah yang diminta oknum pembeli, yang biasanya hingga 1 - 2 kali harga barang.
Ancamannya, jika tidak transfer, maka si pembeli akan dipenjara karena telah membeli barang secara ilegal. Dari sini, beberapa banyak yang terpaksa membayar uang denda dari aksi penipuan tersebut. Padahal, barang yang dijanjikan juga belum tentu ada.
Selain itu, beberapa modus penipuan bisnis jastip lainnya adalah barang yang diberikan ternyata palsu hingga barang yang tidak kunjung sampai meski sudah membayar penuh.
Simulasi Bea Impor yang Harus Dibayar Kalau nge-Jastip di Atas 500 dolar AS
Bukan cuma korban pembeli saja yang rugi besar dari risiko bisnis jastip, negara juga berpotensi merugi. Pasalnya, banyak turis yang membeli barang dari luar negeri dan membelinya, tapi mereka sebut itu adalah barang pribadinya. Padahal, maksimal nilai barang impor dari perjalanan luar negeri tanpa pajak itu senilai 500 dolar AS per orang atau 1.000 dolar AS untuk keluarga.
Memang berapa harus bayar pajak jika belanja di luar negeri lebih dari 500 dolar AS?
Begini perhitungannya, anggap kita membeli gadget senilai 1.000 dolar AS dari luar negeri. Berapa pungutan impor yang harus dibayarkan?
Pungutuan impor yang harus dibayarkan antara lain, bea masuk, PPN, dan PPH.
Untuk mengetahui Bea Masuk, kita harus menghitung nilai pabean dengan rumus total harga barang impor dikurangi 500 dolar AS (batas maksimal barang impor bebas pajak) ditambah asuransi dan ongkos kirim dikali kurs rupiah terhadap dolar AS.
Bagaimana jika kita tidak mengetahui nilai asuransi? nilai asuransi akan ditentukan dengan cara menambahkan harga barang impor dengan ongkos kirim lalu dikalikan dengan 0,5 persen.
Dari sini, nilai pabean gadget impor senilai 1.000 dolar AS itu senilai Rp8,61 juta.
Setelah itu, kita hitung berapa bea masuk yang harus dibayarkan. Caranya, nilai pabean dikali dengan tarif pabean sebesar 15 persen. Hasilnya, bea masuk senilai Rp1,29 juta.
Lalu, bagaimana menghitung PPH dan PPN-nya?
Kita akan menghitung nilai impor terlebih dulu lewat penambahan nilai pabean dengan bea masuk berarti nilai impornya Rp9,91 juta.
Dari sini, dengan asumsi barang yang dibeli tidak termasuk barang mewah, berarti kita cukup bayar PPh dan PPN saja. Jika memiliki NPWP, berarti tarif PPh menjadi 7,5 persen. Dengan begitu, kita tinggal hitung nilai impor dikali 7,5 persen menjadi Rp743.000.
Untuk PPN, kita mengalikan nilai impor dengan 10 persen menjadi Rp991.000.
Berarti, total pungutan yang harus dibayarkan senilai Rp3 juta.
Dengan kata lain, jika beli barang senilai 1.000 dolar AS, berarti nilai beli setelah sampai di Indonesia menjadi 1.200 dolar AS.
Ada yang masih suka lolos-in barang jastip di atas 500 dolar AS dengan alasan milik pribadi?