Kacaunya Sejarah Ekonomi Indonesia Setelah Merdeka
Setelah merdeka di 1945 dan diakui Belanda pada 1949, ekonomi Indonesia malah carut marut sampai dikasih utang besar. Lalu, gimana penyelesaiannya?
Mikir Duit – Kamu tahu nggak kalau sejarah ekonomi Indonesia setelah kemerdekaannya diakui oleh Belanda pada 1949 itu langsung carut marut dan kacau. Seperti negara baru, sistem keuangan dari moneter dan fiskal yang berantakan hingga membuat harga-harga barang pokok melejit yang membuat masyarakat sengsara.
Sejarah ekonomi Indonesia setelah merdeka langsung dilanda inflasi hingga 100 persen. Hal itu membuat harga bahan pokok untuk masyarakat melejit drastis. Secara ringkas, salah satu penyebab inflasi adalah keberadaan tiga mata uang yang berlaku di Indonesia.
Menurut M.C Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern (2007), inflasi di Indonesia melejit setelah proklamasi kemerdekaan karena ada tiga jenis mata uang yang beredar dan tidak terkendali.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia pun mencatat ada 3 mata uang yang berlaku saat awal kemerdekaan sesuai dengan Maklumat Presiden Republik Indonesia pada 3 Oktober 1945.
Ketiga uang itu antara lain:
- Uang kertas De Javasche bank (cikal bakal Bank Indonesia) yang merupakan peninggalan zaman kolonial Belanda.
- Uang kertas dan logam milik pemerintah Hindia Belanda yang telah disiapkan Jepang, yakni De Japansche Regering dengan satuan gulden.
- Uang kertas milik Jepang yang menggunakan bahasa Indonesia, yakni Dai Nippon emisi 1943 dan Dai Nippon Teikoku Seibu emisi 1943 bergambar Wayang Orang Satria Gatotkaca
Sejarah Ekonomi Indonesia Dapat Limpahan Utang Selangit dari Belanda
Ekonomi Indonesia memang langsung kacau balau setelah proklamasi kemerdekaan pada 1945. Pasalnya, setelah kemerdekaan itu, Indonesia diserang pasukan Belanda sampai akhirnya mereka mengakui kedaulatan Indonesia pada 1949.
Sampai akhirnya Indonesia dan Belanda bertemu di konferensi Meja Bundar (KMB) pada Desember 1949. Dalam pertemuan itu, Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dengan beberapa syarat berat. Seperti, Indonesia harus menanggung utang pemerintah Hindia-Belanda sebelum perang dan utang NICA pasca-perang setelah 1945.
BACA JUGA: Begini Alasan Pemerintah Tidak Cetak Uang yang Banyak Agar Masyarakatnya Kaya
Prof. Sumitro Djojohadikusumo dalam Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an (2005) karya Thee Kian Wie, Belanda disebut minta Indonesia menanggung utang sekitar 6,3 miliar gulden yang terdiri 3 miliar gulden utang dalam negeri dan 3,3 miliar gulden utang luar negeri.
Namun, Indonesia mencoba ajukan banding untuk tidak membayar utang luar negeri senilai 2 miliar gulden dari total 3,3 miliar gulden. Alasannya, 2 miliar gulden itu digunakan untuk biaya perang agresi militer Belanda terhadap Indonesia. Belanda pun setuju pembatalan pembayaran 2 miliar gulden tersebut.
Gara-gara syarat pembayaran utang itu, ekonomi Indonesia sangat sulit pada 1950. Menurut Howard Dick dalam The Emergence of A National Economy, an Economic History of Indonesia, 1800-2000 (2002) menyebutkan Indonesia pun menghabiskan hadiah kemerdekaan senilai 100 juta dolar AS dari Amerika Serikat (AS) untuk bayar utang tersebut.
Sampai akhirnya, Kabinet Harahap yang berkuasa pada Agustus 1955 hingga 3 Maret 1956 berhasil sepakat membatalkan syarat pembayaran utang tersebut pada 1956. Sayangnya, Indonesia sudah terlanjur membayar sekitar 82 persen dari seluruh utangnya.
Deretan Beban Keuangan Lainnya untuk Indonesia yang masih Cilik
Beban keuangan Indonesia setelah kemerdekaan bukan cuma syarat utang dari Belanda, tapi juga beban gaji pegawai eks Belanda. Jadi, setelah merdeka, masih ada sekitar 17.000 pegawa eks-Belanda yang punya gaji standar Eropa.
Bayaran yang mahal untuk para pegawai belanda itu memicu kecemburuan para pegawai negeri sipil pribumi.
Belum lagi, Indonesia juga terpaksa menampung 26.000 tentara eks-KNIL yang biayanya juga tidak murah.
Bahkan, Indonesia juga punya pekerjaan rumah berat untuk merapikan infrastruktur yang berantakan pasca perang. Beberapa infrastruktur seperti jembatan, jalanan, hingga pembangkit listrik banyak yang hancur. Ditambah, keberadaan Jepang saat menjajah Indonesia sama sekali tidak melakukan pembangunan infrastruktur.
Di tengah beban yang tinggi itu, cadangan devisa Indonesia juga seret banget. Anne Both dalam The Indonesian Economic in the Nineteenth and Twentieth Centuries (1998) mencatat Indonesia hanya punya cadangan devisa 142 juta dolar AS. Padahal, rata-rata kebutuhan impor bisa mencapai 137 juta dolar AS per bulan. Berarti, cadangan devisa itu hanya cukup untuk membiayai kebutuhan impor satu bulan. Posisi itu sangat tidak bagus untuk perekonomian Indonesia.
Soalnya, Indonesia juga lagi butuh banyak impor bahan baku akibat produksi komoditas tidak mencukupi kebutuhan.
Upaya untuk menambah cadangan devisa dengan ekspor komoditas juga sulit dilakukan. Ada dua alasan kuat Indonesia sulit melakukan ekspor saat itu.
Pertama, Indonesia masih terisolasi dari perdagangan dunia karena sempat berstatus darurat perang.
Kedua, produksi perkebunan Indonesia yang merupakan produk unggulan ekspor mengalami penurunan cukup drastis. Menurut Thee Kian Wie, penurunan produksi itu disebabkan tentara Jepang memaksakan hasil perkebunan diubah menjadi tanaman pangan.
Hasilnya, banyak pabrik gula di Jawa rusak berat akibat pendudukan Jepang dan pertempuran lawan Belanda setelah Kemerdekaan.
Ekspor Indonesia di perdagangan dunia pun terus turun drastis pada 1953-1966. Pertumbuhan volume ekspor hanya naik kurang dari 1 persen per tahun. Padahal, rata-rata perdagangan dunia lagi agresif tumbuh 7 persen per tahun, pertumbuhan tertinggi sejak 1.800.
Berkah Ekonomi Bagi Indonesia dari Perang Korea
Sebenarnya, Indonesia sempat mencatatkan kenaikan ekspor yang signifikan pada 1951. Hal itu terjadi ketika terjadinya perang Korea pada tahun yang sama.
Hal itu seolah menjadi obat sementara bagi ekonomi Indonesia yang lagi mengalami defisit anggaran. Thee Kian Wie mencatat pada 1950, Indonesia mencatatkan defisit anggaran hingga Rp1,7 miliar, angka yang tergolong besar saat itu.
Defisit anggaran terjadi akibat beban utang besar, serta adanya kebutuhan penanganan masalah keamanan. Lalu, pendapatan negara juga tidak terlalu optimal.
Sampai akhirnya perang Korea terjadi, Indonesia mencatatkan kenaikan ekspor hingga defisit anggaran langsung teratasi dalam sekejap.
Howard Dick mencatat korelasi Perang Korea dengan ekonomi Indonesia adalah efek kenaika harga komoditas, terutama karet dan minyak, yang memberikan kontribusi sebesar dua pertiga dari total pendapatan ekspor. Sumber pendapatan negara juga bertambah dengan adanya penerimaan pajak perdagangan.
Namun, booming komoditas memang tidak terjadi selamanya. Periode booming harga komoditas akibat Perang korea itu hanya terjadi setahun. Ekonomi Indonesia setelah itu pun langsung carut marut lagi, bahkan lebih pada daripada 1950-an.
Howard Dick mengutip D.S Paauw yang menyebutkan penyebab ekonomi langsung hancur ketika perang Korea selesai karena para eksportir yang menerima dolar AS menukarkannya dengan barang konsumsi pada 1951/1952. Masalahnya, setengah dari belanja barang konsumsi itu adalah barang impor.
Permasalah lainnya setelah perang Korea adalah, Indoensia punya banyak uang, tapi tidak ada supply yang tersedia. Akhirnya neraca keuangan negara pun memburuk.
Kesimpulan
Jadi, masalah ekonomi Indonesia pada medio 1950-an awal setelah kemerdekaan antara lain, beban biaya utang peninggalan Belanda yang tinggi, biaya tenaga kerja standar Eropa sangat tinggi, menanggung tentara KNIL, gejolak iri hati para PNS pribumi dengan pekerja dengan gaji standar Eropa, pendapatan negara belum stabil, ekspor turun karena produksi turun, impor naik karena produksi komoditas dalam negeri turun, hingga cadangan devisa terbatas untuk kebutuhan impor. Sampai termasuk masalah peredaran uang yang masih berantakan karena total ada tiga mata uang yang berlaku di Indonesia saat itu.
Lalu, bagaimana cara Indonesia bisa lepas dari jeratan tekanan ekonomi tersebut? kita akan bahas sejarah ekonomi Indonesia di edisi Jas Merah bareng Mikirduit edisi Indonesia selanjutnya ya.