Kasus Wahyu Kenzo, Kenapa Masih Terjebak Investasi Bodong?
Kasus Wahyu Kenzo bikin kita bertanya-tanya, kenapa masih banyak yang ketipu Investasi bodong? apalagi yang ketipu orang yang punya banyak uang lagi.
Mikir Duit – Kasus robot trading mencuat, tiba-tiba ada nama yang digadang-gadang sebagai Crazy Rich, yakni Wahyu Kenzo menjadi pelakunya. Lalu, kenapa sih banyak orang yang terjebak investasi bodong padahal skemanya itu-itu saja. Terus, bagaimana cara mengantisipasinya agar tidak terjebak investasi bodong?
Kronologi kasus Wahyu Kenzo ini terungkap setelah salah satu korban membawa kasus ini ke kepolisian. Korban yang berinisial MY mengungkapkan, dirinya mengalami kerugian hingga Rp6 miliar setelah berinvestasi di robot trading sejak 2021.
Awalnya, MY berinvestasi senilai Rp1,99 miliar ditambah pembelian robot trading Rp42 juta. Tahap awal, MY mendapatkan keuntungan investasi sesuai yang dijanjikan Wahyu. Akhirnya, MY memasukkan uang lagi Rp4 miliar. Namun, setelah itu janji manis Wahyu hanya pepesan kosong.
BACA JUGA: Mau Tau Kenapa Kamu Tetap Harus Punya Asuransi Kesehatan Meski Sudah Punya BPJS?
Bahkan, MY disebut juga mengalami kerugian Rp26 miliar gara-gara Wahyu belum melunasi pembelian tanah. Secara total, dia mengalami kerugian sekitar Rp32 miliar dari aksi Wahyu tersebut.
Ciri-ciri Investasi Bodong
Sejak didirikan pada 2021, Auto Trade Gold (ATG) telah memiliki 25.000 member. Dari total itu, kerugian dari robot trading milik Wahyu Kenzo disebut bisa mencapai Rp9 triliun. Pertanyaan, kenapa bisa 25.000 orang itu tertipu investasi bodong robot trading ini?
Secara logika, instrumen investasi keuangan yang legal itu berada di bawah naungan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sedangkan perdagangan berjangka dan komoditas ada di bawah Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka dan Komoditi (Bappebti).
Bahkan, yang berada di OJK dan Bappebti sendiri masih ada potensi fraud. Bayangkan, bagaimana jika tidak ada di bawah regulator.
Salah satu, indikator awal sebuah tawaran investasi bodong adalah janji manis yang diberikan. Jika janji manisnya terlalu tinggi, misalnya kasih janji keuntungan 10 persen per bulan tanpa risiko,, itu sudah tidak logis.
Lalu, berapa angka keuntungan investasi yang logis?
Acuan gampangnya bisa melihat angka Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) rate dan tingkat kupon SBN ritel.
LPS rate itu bisa menggambarkan berapa tingkat bunga deposito di bank. Misalnya, LPS rate 4 persen, berarti rata-rata suku bunga deposito di bank itu sekitar 4 persen per tahun.
Lalu, SBN ritel juga bisa dijadikan acuan. Misalnya, saat ini rata-rata kupon SBN ritel itu sekitar 6 persen per tahun.
Kedua instrumen itu, yakni deposito dan SBN ritel adalah instrumen yang sangat rendah risiko dan memberikan keuntungan fix. Artinya, jika ada janji manis keuntungan fix bebas risiko di atas LPS rate dan kupon SBN ritel, ada potensi investasi bodong.
Kenapa bisa ada asumsi itu? soalnya, jika ada yang menawarkan investasi dengan keuntungan di atas LPS rate dan SBN ritel, kemana uangnya disalurkan? kalau ke saham pasti ada risikonya dong, nggak bisa janjikan keuntungan yang fix tanpa risiko.
Bagaimana dengan bunga deposito bank digital? dan juga obligasi korporasi?
Yaps, bunga deposito bank digital sempat ada yang 8 persen per tahun. Namun, ada risiko, jika banknya bangkrut, dana yang disimpan dengan bunga tinggi itu tidak dijamin LPS.
Begitu juga dengan obligasi korporasi yang bisa menjanjikan keuntungan dari kupon 10 persen per tahun. Namun ingat, semakin tinggi obligasi korporasi, semakin tinggi juga risiko pembiayaannya. Jika gagal bayar, nanti kupon yang rutin dibagikan bisa tidak dibayar.
Selain investasi, ada juga investasi bodong yang mengaku berbentuk bisnis. Untuk kasus ini, kita bisa deteksi dengan mengecek pola model bisnisnya. Caranya, bisa cek bagaimana cara dia mendapatkan pendapatan, dari jualan produk dan jasa atau uang anggota baru?
Kenapa masih Banyak yang Terjebak Investasi Bodong?
Salah satu penyebab kenapa masih banyak orang yang terjebak investasi bodong adalah karena motivasi instant gratification alias ingin kaya secara instan.
Di luar itu, pemahaman terkait investasi yang legal dan logika keuntungan investasi yang wajar di kalangan masyarakat juga masih sangat rendah. Bahkan, sebagian masyarakat masih tidak tahu bagaimana cara mengakses investasi yang legal seperti, reksa dana, saham, SBN ritel, dan lainnya.
Mereka pun tidak punya pemahaman apa saja produk investasi yang legal dan ilegal. Ada yang janji manis keuntungan besar tanpa risiko langsung diikuti. Padahal, ada prinsip investasi yang tak lekang waktu, high risk high return.
Instant gratification itu pun juga makin dipicu dengan kebiasaan flexing para orang kenamaan dan ahli marketing. Mereka yang flexing biasanya untuk meningkatkan kredibilitas penjualannya.
Akhirnya, banyak masyarakat yang bermimpi bisa pamer atau flexing seperti para orang kenamaan tersebut.
Kesimpulan
Banyaknya korban investasi bodong menandakan orang yang punya duit banyak pun belum tentu punya literasi keuangan yang baik. Toh, dalam kasus-kasus investasi bodong banyak korban yang memiliki uang miliaran rupiah dan terjebak investasi bodong.
Ini bukan hanya menjadi tanggung jawab para korban sendiri dalam menentukan pilihan investasinya. Namun, juga pemerintah dan regulator untuk melakukan edukasi keuangan yang sederhana dan mudah dimengerti kalau tidak ada jalan instan menjadi kaya.
Kamu bukan salah satu korban investasi bodong kan?