Nasib Saham Menara Telekomunikasi Setelah EXCL dan FREN Merger
Setelah EXCL-FREN merger, tantangan selanjutnya adalah efek konsolidasi jaringan keduanya yang bisa mempengaruhi kinerja emiten menara telko. Kira-kira, seberapa besar efeknya?
Mikirduit – Salah satu dampak dari sah-nya merger EXCL dengan FREN adalah potensi konsolidasi sewa menara telekomunikasi. Namun, seberapa besar efeknya dan siapa yang diuntungkan dan dirugikan?
Dalam keterbukaan informasi EXCL dan FREN pada 11 Desember 2024, salah satu keuntungan dari merger tersebut antara lain perseroan bisa mengonsolidasikan infrastruktur jaringan strategis dan peningkatan efisiensi, hingga memungkinkan skala ekonomi bisnis yang lebih baik.
Beberapa caranya, salah satunya adalah konsolidasi cakupan jaringan gabungan yang lebih kuat dan lebih padat, serta rasionalisasi peluncuran situs menara duplikat, yang artinya FREN dan EXCL akan konsolidasi kepemilikan jaringan di wilayah yang sama.
Lalu, apakah emiten menara telekomunikasi akan kehilangan pendapatannya?
Jika mengacu data saat ISAT dan Tri Hutchinson merger yang konsolidasi terjadi pada 2022, efeknya cukup beragam bagi menara telekomunikasi.
Misalnya, TOWR justru mencatatkan kenaikan permintaan dari ISAT sebesar 219 persen menjadi Rp4,12 triliun, meski pendapatan dari Tri Hutchinson menjadi 0 dibandingkan dengan sebelumnya yang mencapai Rp2,23 triliun.
Secara akumulasi, pendapatan dari Grup ISAT dibandingkan dengan sebelum merger (ISAT dan Tri) justru naik 17 persen.
Namun, nasib berbeda terjadi di TBIG. Emiten portofolio investasi SRTG itu memang mencatatkan kenaikan pendapatan dari sewa menara ISAT sebesar 65,56 persen menjadi Rp2,19 triliun, tapi secara akumulasi TBIG mencatatkan penurunan 1,65 persen menjadi Rp2,2 triliun.
Sementara itu, untuk MTEL tidak memiliki data detail untuk pendapatan Hutchinson sebelum merger karena porsinya di bawah 10 persen. Namun, dari segi pendapatan ISAT pada 2022 mencatatkan kenaikan sebesar 99,11 persen menjadi Rp1,45 triliun.
Dalam keterbukaan informasi EXCL dan FREN pada 11 Desember 2024, salah satu keuntungan dari merger tersebut antara lain perseroan bisa mengonsolidasikan infrastruktur jaringan strategis dan peningkatan efisiensi, hingga memungkinkan skala ekonomi bisnis yang lebih baik.
Beberapa caranya, salah satunya adalah konsolidasi cakupan jaringan gabungan yang lebih kuat dan lebih padat, serta rasionalisasi peluncuran situs menara duplikat, yang artinya FREN dan EXCL akan konsolidasi kepemilikan jaringan di wilayah yang sama.
Lalu, apakah emiten menara telekomunikasi akan kehilangan pendapatannya?
Jika mengacu data saat ISAT dan Tri Hutchinson merger yang konsolidasi terjadi pada 2022, efeknya cukup beragam bagi menara telekomunikasi.
Misalnya, TOWR justru mencatatkan kenaikan permintaan dari ISAT sebesar 219 persen menjadi Rp4,12 triliun, meski pendapatan dari Tri Hutchinson menjadi 0 dibandingkan dengan sebelumnya yang mencapai Rp2,23 triliun.
Secara akumulasi, pendapatan dari Grup ISAT dibandingkan dengan sebelum merger (ISAT dan Tri) justru naik 17 persen.
Namun, nasib berbeda terjadi di TBIG. Emiten portofolio investasi SRTG itu memang mencatatkan kenaikan pendapatan dari sewa menara ISAT sebesar 65,56 persen menjadi Rp2,19 triliun, tapi secara akumulasi TBIG mencatatkan penurunan 1,65 persen menjadi Rp2,2 triliun.
Sementara itu, untuk MTEL tidak memiliki data detail untuk pendapatan Hutchinson sebelum merger karena porsinya di bawah 10 persen. Namun, dari segi pendapatan ISAT pada 2022 mencatatkan kenaikan sebesar 99,11 persen menjadi Rp1,45 triliun.
Peta Sewa Menara EXCL - FREN
Untuk komposisi penyewaan menara dari EXCL dan FREN, TOWR mencatatkan porsi terbesar senilai Rp3 triliun yang setara 32 persen dari total pendapatan per kuartal III/2024. Namun, FREN tidak terdaftar di list klien dengan pendapatan di atas 10 persen, ekspektasi kami mungkin ada, tapi nominalnya di bawah 10 persen pendapatan.
Sementara itu, TBIG ada di posisi kedua dengan memiliki pendapatan dari EXCL senilai Rp957 miliar dan FREN senilai Rp715 miliar. Sehingga total pendapatan dari sewa menara EXCL-FREN senilai Rp1,67 triliun yang setara 32,64 persen dari total pendapatan.
Untuk MTEL menjadi emiten menara yang mencatatkan sewa EXCL paling rendah hanya Rp781 miliar. Adapun, nama FREN tidak ada karena kami asumsikan di bawah 10 persen. Porsi pendapatan dari EXCL setara 11,47 persen dari total pendapatan MTEL.
Jika melihat komposisi, MTEL yang paling berisiko rendah untuk mengalami penurunan pendapatan karena ada konsolidasi. Namun, dari skala jumlah menara yang dimiliki, TBIG berpotensi berisiko paling tinggi untuk mencatatkan penurunan sewa seperti kejadian saat ISAT merger dengan hutchinson.
Pasalnya, akan ada bagian duplikat jaringan yang dioper ke pemilik menara yang lebih banyak seperti TOWR atau MTEL.
Namun, dengan skala FREN yang lebih kecil dibandingkan dengan Tri Hutchinson, kami menilai efek dari konsolidasi ini akan cenderung lebih terkendali dibandingkan ketika ISAT dengan Tri Hutchinson.
Momentum Saham Menara
Salah satu momentum saham menara adalah kenaikan penetrasi 5G yang saat ini masih sangat terbatas. Adapun, spektrum jaringan 5G akan bertambah setelah jaringan tv analog berganti menjadi tv digital. Sehingga spektrum kosong itu akan digunakan untuk 5G.
Namun, perkembangan penetrasi 5G ini memang cukup lambat. Apalagi, Kominfo berencana melelang frekuensi 700 Mhz dan 26 GHz untuk 5G pada 2024, sayangnya rencana tersebut ditunda hingga awal 2025. Alasannya, operator seluler meminta agar lelang langsung untuk 3 jaringan, yakni 700 Mhz, 26 GHz, dan 2,6 GHz agar nilai ekonomi lebih baik.
Namun, jaringan 2,6 GHz baru berakhir di akhir 2024 sehingga lelang baru bisa dilakukan di 2025. Harapannya, lelang dilakukan pada kuartal I/2025.
Sambil menunggu perkembangan spektrum tersebut, TOWR menjadi emiten menara yang paling getol ekspansi dari akuisisi perusahaan menara hingga fiber optic dan menjadi salah satu perusahaan menara yang paling siap menangkap peluang tersebut.
Sementara itu, MTEL menyusul di belakang dengan mengakuisisi aset fiber optik terafiliasi seperti terakhir akuisisi aset fiber optik milik PTPP. Pasalnya, skala aset fiber optik MTEL masih cenderung rendah, meski perseroan memiliki banyak menara.
Di sisi lain, TBIG menjadi pemain tier kedua dibandingkan TOWR dan MTEL juga memiliki jaringan fiber optik yang belum terlalu besar.
Kesimpulan
Dengan menggunakan asumsi konsensus analis hingga 2026, kinerja emiten menara telekomunikasi dengan prospek rata-rata pertumbuhan pendapatan terbesar dari periode 2023-2026 antara lain MTEL sebesar 4,62 persen per tahun. Lalu, dari segi laba bersih, TBIG yang terbesar, yakni 6,11 persen per tahun.
Sementara itu, TOWR mencatatkan pertumbuhan pendapatan dan laba bersih periode 2023-2026 yang cenderung moderat. Pendapatan tumbuh 3,84 persen per tahun, sedangkan laba bersih tumbuh 4,08 persen per tahun.
Secara valuasi saham, kami menggunakan perbandingan dua indikator, yakni EV/EBITDA dengan PBV. Hasilnya, dari segi kedua indikator TBIG yang skalanya lebih kecil dibandingkan dengan TOWR dan MTEL menjadi yang paling mahal.
EV/EBITDA TBIG sebesar 12 kali, sedangkan MTEL dan TOWR masing-masing 8 kali. Dari segi PBV, TBIG sebesar 3,68 kali, sedangkan TOWR dan MTEL masing-masing 1,94 kali dan 1,72 kali.
Dari fakta ini dan tren saham telekomunikasi yang sudah lesu 2 tahun terakhir, apakah saatnya bangkit di 2025? Detail harga wajar akan dibahas detail di grup Mikirdividen.
LAST CALL PROMO JOIN MIKIRDIVIDEN CUMA RP400.000 PER TAHUN SAMPAI 31 DESEMBER 2024
Jika kamu ingin tahu atau mau langsung gabung ke Mikirdividen, kamu bisa klik di sini . Ada promo spesial diskon langsung Rp200.000 untuk langganan setahun! CUMA SAMPAI 31 Desember 2024 dan Kuota terbatas!
Jika ingin langsung transaksi bisa klik di sini
Langganan Sekarang dan dapatkan Fix Rate perpanjangan seperti harga pembelian pertama selama dua tahun ke depan.
Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini