Nasib Saham Rokok Setelah Penjualannya Dibatasi, Masih Layak untuk Investasi?

Penjualan rokok makin dibatasi, apakah saham rokok masih layak koleksi dengan historis dividen rutinnya?

Nasib Saham Rokok Setelah Penjualannya Dibatasi, Masih Layak untuk Investasi?

Mikirduit – Saham rokok kembali menghadapi tantangan besar setelah rilisnya peraturan larangan penjualan rokok eceran termasuk lokasi penjualan yang dekat sekolah dan kampus. Jika ditambah dengan kenaikan cukai rokok di 2025, apakah masih ada harapan saham rokok untuk bangkit? 

Dalam sepekan terakhir dari 29 Juli 2024 sampai 1 Agustus 2024, harga saham rokok terutama WIIM dan GGRM bertumbangan. GGRM turun 5,27 persen, sedangkan WIIM turun 13,45 persen. HMSP sendiri bergerak cenderung stagnan dalam sepekan.

meme saham rokok

Tren penurunan itu selaras setelah Presiden Indonesia Joko Widodo menekan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. 

Beberapa poin dari ketentuan teknis itu salah satunya terkait larangan penjualan rokok satuan atau eceran. Peraturan juga melarang penjualan rokok di vending machine, penjualan rokok ke bawah usia 21 tahun dan ibu hamil, serta melarang penjualan rokok di sekitar pintu masuk dan keluar yang sering dilalui customer. Aturan itu juga melarang penjualan rokok dan rokok elektrik dalam radius 200 meter dari pusat pendidikan dan tempat bermain anak.

Beberapa ketentuan lainnya antara lain penjualan dan promosi rokok dilarang melalui website, aplikasi, dan media sosial. Serta produsen rokok wajib memberikan peringatan kesehatan bergambar menjadi 50 persen dari area rokok. Saat ini, gambar peringatan masih dalam 40 persen dari kemasan rokok.

Aturan itu disebut juga berlaku untuk rokok elektrik, tapi tidak berlaku untuk rokok klobot, klembak menyan, dan cerutu kemasan batang.

Bagaimana dampaknya ke industri rokok, terutama emiten rokok yang sudah melantai di BEI? jawabannya, jika penerapan aturan tadi sangat ketat dan tegas, efeknya pasti akan besar. Namun, penerapan yang tidak begitu ketat saja bisa menggerus pertumbuhan pendapatan. 

Perbedaan kebijakan pembatasan penjualan ini berbeda dengan kenaikan cukai. Jika kenaikan cukai itu dampaknya adalah seberapa kuat daya beli masyarakat setelah harga rokok naik, sedangkan untuk kebijakan pembatasan penjualan ini berarti secara langsung menekan turun pendapatan produsen rokok.

3 Fase Pengurangan Konsumsi Rokok

Ada tiga fase utama dalam upaya pemerintah mengurangi konsumsi rokok sejak 2014. 

Pertama, fase kewajiban menyertakan gambar peringatan kesehatan yang mencakup 40 persen dari kemasan. Ini berlaku per Juni 2014. Kebijakan ini memang tidak memberikan dampak langsung terhadap penjualan. Pasalnya, gambar itu tidak menakut-nakuti untuk perokok aktif. 

Kedua, kenaikan cukai rokok agresif sejak 2015 sampai 2024. Cukai rokok mulai dinaikkan secara agresif sejak 2015-2024. Kenaikan tertinggi terjadi pada 2020 sebesar 23 persen. Lalu, rata-rata kenaikan cukai per tahunnya sekitar 10-11 persen per tahun. Tercatat, selama periode pemerintahan Joko Widodo, hanya 2019 cukai rokok tidak dinaikkan. 

Dampaknya, kenaikan cukai itu telah memperlambat pertumbuhan penjualan rokok HMSP dan GGRM dalam periode 2015-2023. Pada periode itu, HMSP hanya mencatatkan rata-rata pertumbuhan penjualan sebesar 2,98 persen per tahun dibandingkan dengan periode 2008-2014 yang bisa mencapai 12,82 persen per tahun. 

Lalu, GGRM juga mencatatkan perlambatan penjualan tahunan pada 2015-2023 menjadi 6,01 persen dibandingkan dengan 11,59 persen per tahun pada periode 2008-2014. 

Selain perlambatan penjualan, efek terbesarnya juga mempengaruhi tren laba bersih HMSP dan GGRM. Sejak periode 2015-2023, HMSP mencatatkan penurunan laba bersih 3,46 persen per tahun, sedangkan GGRM mencatatkan penurunan laba bersih 2,08 persen per tahun. 

Ketiga, sudah memasuki fase pembatasan penjualan dan promosi yang lebih ketat. Pastinya, jika dijalankan secara ketat maupun tidak terlalu ketat bisa tetap mempengaruhi penjualan perusahaan rokok secara langsung.

Nasib Saham Rokok

Banyak yang menganalisis kalau saham rokok ini masih bisa bangkit lagi. Dengan tesis, jumlah perokok masih cukup tinggi. Namun, dengan kenaikan cukai telah terjadi perubahan konsumsi rokok legal menjadi ilegal. Artinya, jumlah perokok terus naik, tapi penjualan rokok legal, terutama via emiten HMSP dan GGRM malah melambat. 

Secara teori, penurunan laba bersih HMSP dan GGRM seharusnya bisa mencapai titik keseimbangan baru sampai nantinya kembali bertumbuh. Hal itu dianggap jadi peluang untuk saham rokok ke depannya, tapi tanpa memasukkan risiko kebijakan pemerintah. 

Kami menilai emiten rokok ini adalah emiten yang bisnisnya terdisrupsi oleh kebijakan pemerintah dari kenaikan cukai dan sebagainya. Sehingga, bisnis rokok ini akan sulit untuk mencatatkan pertumbuhan bisnis maupun menciptakan titik keseimbangan baru untuk mulai mencatatkan pertumbuhan bisnis. 

Di sisi lain, emiten rokok di Indonesia juga tidak ada yang diversifikasi bisnis ke sektor yang lebih menguntungkan. GGRM masuk ke bisnis pembangunan bandara dan jalan tol di wilayah Kediri. Dengan bisnis itu, kami menilai tingkat balik modalnya saja butuh waktu yang panjang. Meski, GGRM bisa saja mendapatkan dana segar jika menjual sebagian kepemilikan bandara dan jalan tol ke pihak lain. Tapi, itu sifatnya hanya jangka pendek.

Sementara itu, HMSP juga nyaman dengan rokok tanpa asapnya yang ternyata sejauh ini belum menjadi solusi bagus untuk menghadapi kebijakan pemerintah. Meski, strategi HMSP kami nilai lebih bagus dibandingkan dengan GGRM. Pasalnya, penjualan rokok tanpa asap, termasuk ekspor ke Jepang telah membantu pertumbuhan pendapatan perseroan, meski nominalnya belum terlalu signifikan. 

Salah satu perhatian kami untuk HMSP adalah lini bisnis SRC (Sampoerna Retail Community) yang cukup masif di daerah. GGRM maupun Djarum juga punya bisnis serupa. Namun, kami belum melihat angka-angka riil keuntungan dari bisnis jaringan toko kelontong tersebut. 

Jika mengacu ke kinerja PT Bukalapak Tbk. (BUKA), yang punya Mitra Bukalapak, bisnis tersebut punya peluang untuk drive pendapatan baru, terutama di luar kota besar. Apalagi, khusus SRC memiliki beberapa produk sendiri, salah satunya air mineral SRC yang mulai diperdagangkan.

Namun, kami juga tidak mendapatkan detail bagaimana HMSP memproduksi air mineral tersebut. Secara historis, HMSP sewaktu masih dipegang keluarga Sampoerna sempat memiliki bisnis air mineral, yakni OASIS. Sayangnya, kepemilikan saham di OASIS oleh HMSP juga berakhir pada era krisis 1997-1998. Apalagi, HMSP kini juga sudah dikendalikan sepenuhnya oleh Philip Morris, bukan lagi keluarga Sampoerna.

Apakah nantinya HMSP bisa menjadi pesaing CLEO hingga MYOR dengan Le Minerale-nya? itu yang menjadi tanda tanya besar ke depannya. 

Toh, meski kinerja emiten rokok ini lagi turun, tapi emiten sektor ini menjadi salah satu sapi perah yang punya kas yang besar. Seperti, HMSP per semester I/2024, memiliki tingkat kas dan setara kas senilai Rp7 triliun, serta GGRM memiliki kas dan setara kas sekitar Rp4 triliun. 

Hanya saja, meski punya kas yang besar, kedua emiten rokok ini harus ekspansi ke bisnis yang memiliki tingkat pengembalian hasil yang cepat bukan lama untuk bisa terus mengembangkan bisnis barunya tersebut. 

Selama mereka belum bisa masuk ke bisnis baru di luar rokok yang bisa menghasilkan kas dengan cepat, prospek emiten rokok masih sangat suram untuk investasi jangka panjang. Kecuali untuk trading jangka pendek bisa masuk saat ada momentum bagus.

Menjawab Mitos Saham Dividen Sulit Mendorong Pertumbuhan Bisnis
Saham dividen dianggap sulit berkembang karena hasil keuntungan ada yang dibagikan ke pemegang saham. Tapi apakah benar begitu? simak ulasan lengkapnya di sini

Dividen Investing di Saham Rokok

Salah satu pembenaran investasi di saham rokok selanjutnya adalah kan mereka masih rutin bagi dividen (meski GGRM di 2024 mulai absen bagi dividen). Apakah artinya masih layak? apalagi tingkat yield tahunan masih menarik seperti HMSP masih sekitar 8 persen?

Jawabannya tetap sama, tingkat risiko masih tinggi. Pasalnya, ada risiko penurunan laba bersih yang bisa membuat nilai dividen yang dibagikan juga turun. Jika harga saham ikut turun sesuai dengan kinerja laba bersih-nya, berarti  saat beli di pucuk, tingkat dividen yield yang didapatkan juga semakin rendah. 

Angka dividend yield-nya akan berbeda dengan hitungan menggunakan asumsi harga perdagangan saat cum-dividen. Contohnya, HMSP membagikan dividen sebesar Rp69 per saham pada 2024 dari tahun buku 2023. Jika kamu beli sahamnya di tahun lalu saat berada di Rp1.000-an per saham. Artinya, tingkat dividen yield yang didapatkan sekitar 6,9 persen. Angka itu jelas berbeda dibandingkan saat beli jelang cum-dividen di Rp800-an per saham, tingkat dividend yield-nya menjadi sekitar 8 persen.

Kondisi itu juga bisa terjadi ketika per 2 Agustus 2024, harga saham HMSP sudah di Rp600-an per saham. Tingkat dividend yield akan tetap terlihat besar jika dihitung dengan harga saham jelang cum-dividen. Pasalnya, penurunan harga saham selaras dengan penurunan laba bersihnya.

Untuk itu, investasi saham jangka panjang di saham rokok sudah tidak menarik lagi.

Mau Tau List Daftar Saham yang Bagus untuk Investasi Jangka Panjang Serta Dapat Update Harga Wajarnya Setiap Hari?

Join Mikirdividen sekarang untuk mendapatkan banyak benefit serta strategi investasi dan diskusi dengan para investor saham. Berikut benefit gabung mikirdividen:

  • Update review laporan keuangan saham dividen fundamental bagus hingga full year 2024 dalam bentuk rilis Mikirdividen edisi per kuartalan
  • Perencanaan investasi untuk masuk ke saham dividen
  • Grup Whatsapp support untuk tanya jawab materi Mikirdividen
  • Publikasi eksklusif bulanan untuk update saham mikirdividen dan kondisi market
  • Event online bulanan

Tertarik? langsung saja beli Zinebook #Mikirdividen dengan klik di sini

Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini 

Referensi: