Petaka Anjloknya Saham Big Bank Pada 2015, Mirip Kayak 2024?

Saham big bank pernah mengalami penurunan drastis pada 2015. Waktu itu rata-rata turun hampir 40 persen dalam 6 bulan. Lalu, bagaimana pemulihannya? berikut ulasannya

Petaka Anjloknya Saham Big Bank Pada 2015, Mirip Kayak 2024?

Mikirduit – Saat ini, saham BBRI diwarnai penuh ketakutan setelah turun cukup tajam hingga mendekati ke bawah Rp4.000 per saham. Sentimen keputusan menahan suku bunga dari Bank Indonesia membuat tekanan sedikit mereda. Namun, sebelum anjloknya saham BBRI, dulu saham BMRI juga pernah mengalami hal serupa pada 2015. 

Saham BBRI sudah turun sekitar 36 persen sejak 26 Maret 2024 hingga penutupan 20 Juni 2024. Hal serupa juga pernah dialami oleh saham BMRI yang turun 39 persen dari April-September 2015. Apa yang terjadi saat itu?

Dalam periode 2015 itu, ada beberapa hal besar yang terjadi di ekonomi global, yakni:

  • Harga komoditas seperti minyak dunia hingga batu bara mengalami penurunan signifikan ke level terendah. Hal itu diikuti oleh harga logam industri dan komoditas pertanian. Faktornya, dari pengetatan kebijakan moneter The Fed pertama kalinya setelah krisis 2008 hingga oversupply produksi komoditas yang berlebihan pasca krisis 2008 sampai adanya pengetatan kembali. 
  • Kebijakan pengetatan moneter pertama kalinya oleh The Fed sejak krisis 2008 berdampak terhadap laju ekonomi dunia, termasuk Indonesia mulai melambat. Apalagi, posisinya saat The Fed mengetatkan moneter dan berencana menaikkan suku bunga pada medio 2013-2015 itu posisi suku bunga Indonesia sudah tinggi. 
  • Posisi suku bunga Bank Indonesia per Desember 2013 sudah sebesar 7,5 persen dari level terendahnya di awal 2013 sekitar 5,75 persen. Padahal, kala itu The Fed belum menaikkan suku bunga, tapi baru melakukan tapering off. Posisi suku bunga BI yang cukup tinggi berdampak terhadap likuiditas bank yang mengetat. Hal itu tercermin dari tingkat loan to deposit perbankan dengan rata-rata di atas 90 persen, kecuali BBCA. 
  • Secara ekonomi global, pada pertengahan 2015, dunia dikejutkan dengan aksi bank sentral China yang menurunkan nilai tukar yuan sebanyak tiga kali berturut-turut. Kondisi itu sempat membuat tingkat ketidakpastian pasar sangat tinggi, investor asing menjadi wait and see untuk masuk ke emerging market seperti Indonesia. Untuk itu,pasar saham Indonesia juga tertekan. 
  • Fluktuasi nilai tukar rupiah juga menjadi fokus utama setelah tembus ke Rp14.700 per dolar AS, Level itu menjadi level tertinggi setelah periode 1998. Sehingga banyak kekhawatiran ada risiko besar ke ekonomi Indonesia.

Adapun, keempat saham big bank yang memiliki bobot besar ke IHSG juga mencatatkan penurunan signifikan. Jika dihitung dari fluktuasinya, dua saham yang mengalami penurunan harga terparah waktu adalah BMRI dan BBNI. 

Saham BMRI mencatatkan penurunan 39 persen selama periode April-September 2015, sedangkan BBNI turun 45,81 persen selama periode yang sama. 

Sementara itu, fluktuasi harga saham BBRI dan BBCA lebih rendah. BBRI turun 35 persen pada periode sama, sedangkan BBCA turun 27,24 persen pada periode April-Agustus 2015. 

Apa yang terjadi dengan BBNI dan BMRI? kenapa mereka yang paling parah mencatatkan penurunannya?

Membedah Kinerja BBNI di 2015

Apa yang terjadi dengan BBNI di 2015? kami menilai ada tiga hal yang membuat saham BBNI menjadi paling tidak menarik dibandingkan dengan 3 saham bank lainnya. 

Ketiga hal itu antara lain:  Pertama, kenaikan non-performing loan (NPL) BBNI dari segi gross dan nett cukup signifikan. Dari segi NPL gross pada 2015 naik menjadi 2,7 persen dibandingkan dengan 1,96 persen pada periode sama tahun sebelumnya. Lalu, NPL net juga naik 0,91 persen dibandingkan dengan 0,39 persen pada periode sebelumnya. 

Kedua, kenaikan NPL yang cukup signifikan itu memicu kenaikan tingkat pencadangan BBNI pada 2015 hingga 96 persen menjadi Rp7 triliun dibandingkan dengan Rp3,5 triliun pada periode sama tahun sebelumnya. Kenaikan pencadangan yang tinggi itu membuat laba bersih BBNI turun 15,9 persen menjadi Rp9,06 triliun. 

Ketiga, operasional BBNI menjadi kurang efisien setelah tingkat biaya operasional dibandingkan dengan pendapatan operasional (BOPO) naik menjadi 75,48 persen dibandingkan dengan 68,02 persen pada periode sebelumnya. 

Kenaikan BOPO dan NPL ini yang membuat dari segi laba bersih BBNI dinilai kurang menarik. Apalagi, saat itu posisi suku bunga masih tinggi sehingga ada risiko kenaikan beban bunga makin memperburuk kinerja BBNI. 

Membedah Kinerja BMRI di 2015

Untuk saham BMRI, ada beberapa catatan yang membuatnya menjadi big bank dengan kinerja terburuk kedua selama periode 2015 silam. 

Pertama, BMRI mencatatkan kenaikan rasio kredit bermasalah yang cukup signifikan seperti BBNI. NPL gross BMRI di 2015 naik menjadi 2,29 persen dibandingkan dengan 1,66 persen pada periode sama tahun sebelumnya. Lalu, NPL net naik menjadi 0,6 persen dibandingkan dengan 0,44 persen pada periode sama tahun sebelumnya. 

Kedua, net interest margin BMRI mencatatkan penurunan menjadi 5,9 persen dibandingkan dengan 5,94 persen pada periode sama tahun sebelumnya. 

Meski ada dua masalah itu, saham BMRI tidak turun separah BBNI. Jawabannya, secara kinerja BMRI hanya tertekan dari kenaikan NPL dan posisi NIM yang turun. Hal itu disebabkan faktor suku bunga tinggi yang membuat likuiditas agak mengetat sehingga tingkat bunga deposito waktu itu juga jadi cukup tinggi. 

Menariknya BMRI, meski NPL naik yang membuat pencadangan perseroan naik hingga 116 persen menjadi Rp11,46 triliun. Namun, BMRI masih mencatatkan kenaikan laba bersih sebesar 2,33 persen menjadi Rp20,33 triliun. Tingkat BOPO juga masih efisien dengan berada di bawah 70 persen, meski naik dari 64 persen menjadi 69 persen. Tingkat LDR masih sedikit lebih longgar dibandingkan BBNI.

Sebenarnya, masalah saham BMRI yang cukup parah terjadi pada 2016. Kala itu, tingkat kredit bermasalah segmen komersial meningkat drastis. Tingkat NPL gross BMRI naik hampir 4 persen sepanjang 2016. Lalu, NPL net tembus 1,38 persen. 

Gara-gara kenaikan NPL itu, BMRI menaikkan pencadangan hingga 112 persen menjadi Rp24,3 triliun. Artinya, ini kenaikan pencadangan sebesar 100 persen selama dua tahun berturut-turut. Laba bersih BMRI pun anjlok sebesar 32,1 persen menjadi Rp13,8 triliun. 

Meski begitu, harga saham BMRI di 2016 malah naik sebesar 25,83 persen dalam setahun. Jika dilihat seasonality secara bulanan, hanya ada 5 bulan yang mencatatkan koreksi itu pun tipis, seperti di Februari turun 0,52 persen, April turun 6,31 persen, Mei turun 6,47 persen, September turun 0,23 persen, dan November turun 8,5 persen.

Prospek Pasar Saham Indonesia Setelah di-Downgrade Morgan Stanley
Morgan Stanley downgrade pasar saham Indonesia menjadi underweight. Apa efeknya dan apa yang harus dilakukan investor dalam kondisi ini? simak ulasannya di sini.

Apakah Kinerja BBCA dan BBRI Jauh Lebih Baik Saat Itu?

Pergerakan harga saham BBCA dan BBRI di 2015 tidak turun lebih dalam dibandingkan dengan BMRI dan BBNI disebabkan secara kinerja keuangan memang kondisinya yang paling stabil. 

Misalnya, dari segi NPL gross dan net, BBRI juga mencatatkan kenaikan pada periode tersebut. NPL gross BBRI naik dari 1,69 persen menjadi 2,02 persen, sedangkan NPL net naik menjadi 0,52 persen dibandingkan dengan 0,36 persen pada periode sama tahun sebelumnya. 

Namun, BBRI masih menaikkan biaya pencadangan sekitar 53 persen menjadi Rp8,6 triliun. Berbeda dengan BBNI dan BMRI yang menaikkan sekitar 100 persen. Ditambah, secara operasional bisnis, BBRI juga mampu efisien terlihat dari rasio BOPO yang terjaga di 67 persen. Meski mencatatkan sedikit kenaikan dibandingkan dengan periode di tahun sebelumnya sebesar 65 persen.

Lalu, bicara BBCA, ini menjadi saham big bank dengan kondisi paling terbaik saat kekisruhan 2015 terjadi. BBCA masih mampu mencatatkan pertumbuhan laba bersih sebesar 9,2 persen menjadi Rp18 triliun. Pencadangan BBCA saat itu hanya naik 33 persen menjadi Rp6,95 triliun. 

Dari segi NPL gross maupun nett, kondisi BBCA tidak seburuk 3 saham big bank lainnya. NPL gross hanya naik menjadi 0,72 persen dibandingkan dengan 0,6 persen pada periode tahun sebelumnya. NPL Net juga stabil di 0,22 persen. Hal itu pula yang membuat BBCA berani tidak perlu meningkatkan pencadangan dalam jumlah signifikan seperti tiga saham big bank lainnya.

Kesimpulan

Saham keempat big bank ini bagi Indonesia punya banyak arti, seperti:

  • Keempatnya memiliki bobot besar ke IHSG sehingga ketika ada arus modal asing masuk ke pasar saham Indonesia, keempat bank ini akan menjadi inceran utama. 
  • Keempat bank ini memiliki pangsa pasar kredit sebesar 50 persen ke total penyaluran kredit di Indonesia. Sehingga, dengan kredit masih menjadi motor pertumbuhan ekonomi Indonesia, kinerja keuangan keempat bank ini bisa jadi cerminan prospek ekonomi Indonesia. 

Dari dua fakta itu saja akan memperlihatkan jika ada sesuatu yang buruk terhadap ekonomi Indonesia, tekanan utama pasar saham akan ke saham big bank tersebut. Misalnya, ketika investor asing mau rebalancing portofolio saham Indonesia menjadi lebih sedikit, keempat bank besar ini bakal kena sasaran net sell asing.

Sebaliknya, jika pertumbuhan ekonomi Indonesia memiliki tanda-tanda perbaikan, keempat bank besar ini yang akan jadi inceran utama, meski data ekonominya belum terealisasi. 

Sehingga jika ada penurunan harga signifikan di keempat big bank ini, itu bisa jadi peluang menarik untuk hold hingga posisi suku bunga mentok di bawah atau mulai dinaikan kembali. Soalnya, siklus dari saham perbankan adalah tren kenaikan dan penurunan suku bunga yang juga berimplikasi terhadap pertumbuhan ekonomi. 

Jika melihat ke kronologi anjloknya saham big bank, keempat saham bank besar itu punya dua periode pemulihan harga.

Pertama, setelah semua risiko ketidakpastian terungkap, asing mulai kembali masuk secara perlahan dengan porsi terbatas. Harga saham perlahan mulai kembali naik.

Kala itu, saham BMRI menjadi yang paling agresif dengan naik sebesar 25,83 persen sepanjang 2016. Saham BBCA yang kedua menyusul setelah naik 17,65 persen, saham BBNI naik 0,72 persen, dan saham BBRI naik 2,43 persen.

Kedua, setelah realisasi kinerja pulih 2 tahun setelah anjloknya harga keempat bank besar tersebut atau pada 2017.

Dalam periode yang kedua itu, BBNI menjadi saham paling agresif setelah mencatatkan kenaikan sebesar 79,19 persen dalam setahun di 2017. BBRI mencatatkan kenaikan terbesar kedua sebesar 54,86 persen, BBCA naik sebesar 41,29 persen, dan BMRI naik sebesar 38,22 persen.

Nah, kalau kamu punya saham big bank yang mana nih?

Temukan 31 Saham Dividen yang Menarik Diborong Jelang Pemulihan Pasar Saham!

Yuk join Mikirdividen sekarang juga, kamu akan mendapatkan semua benefit di bawah ini:

  • Update review laporan keuangan saham dividen fundamental bagus hingga full year 2024 dalam bentuk rilis Mikirdividen edisi per kuartalan
  • Perencanaan investasi untuk masuk ke saham dividen
  • Grup Whatsapp support untuk tanya jawab materi Mikirdividen
  • Publikasi eksklusif bulanan untuk update saham mikirdividen dan kondisi market
  • Event online bulanan

Tertarik? langsung saja beli Zinebook #Mikirdividen dengan klik di sini

Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini