Prospek 3 Saham Related Minyak Harga Komoditasnya di 70 dolar AS
Harga minyak dunia terus turun, jika harga minyak turun ke bawah 70 dolar AS, apa yang terjadi? lalu, saham apa yang terdampak langsung? simak ulasannya di sini
Mikirduit – Harga minyak dunia tengah mengalami penurunan, bahkan minyak West Texas Intermediate (WTI), acuan harga minyak di Amerika Serikat, tembus ke bawah 70 dolar AS per barel. Dengan kondisi harga minyak yang terus turun ini, apa saja saham yang terdampak positif dan negatif?
Ada beberapa hal yang menyebabkan harga minyak terus turun seperti, ekspektasi risiko perlambatan ekonomi di Amerika Serikat dan China ke depannya. Apalagi, beberapa data ekonomi AS menunjukkan hasil yang cukup lemah. Data inflasi yang rilis Rabu malam 11 September 2024 akan menjadi penentu seluruh market. Jika hasilnya inflasi tahunan AS di bawah 2,6 persen, tingkat risiko resesi menjadi lebih nyata.
Apalagi jika harga minyak Brent, yang jadi acuan secara internasional, turun ke bawah 70 dolar AS. Penurunan harga minyak bisa menurunkan aktivitas migas yang juga jadi indikator ekonomi menjadi lebih lambat.
Penurunan harga minyak sedikit terjaga di 10 September 2024 setelah ada badai di Meksiko. Hal itu diindikasi bisa mengganggu supply dan produksi minyak di sana, tapi sifatnya hanya sementara.
Tapi, jika harga minyak turun lebih rendah, bagaimana dampaknya ke Indonesia?
Secara logika, penurunan harga minyak bakal menjadi berkah untuk Indonesia yang merupakan importir minyak, terutama dengan kebutuhan BBM yang cukup besar. Apalagi, dengan disertai penguatan rupiah, anggaran untuk impor minyak bisa menjadi murah. Lalu, seharusnya pemerintah bisa menurunkan harga BBM bersubsidi, serta BBM non-subsidi. Dengan begitu, daya beli masyarakat bisa kembali bergairah.
Masalahnya, penurunan harga minyak juga bisa berimbas kepada harga komoditas energi pesaingnya seperti, batu bara. Jika harga minyak mentah turun lebih rendah, harga batu bara berpotensi ikut turun lebih dalam. Soalnya, permintaan terbatas sehingga harga batu bara bisa sulit berada di level yang lebih tinggi.
Hal ini pernah terjadi ketika dunia kebanjiran shale oil, minyak dari AS pada medio 2013-2015. Kala itu, harga minyak sempat turun ke 25 dolar AS per barel, dan harga batu bara turun ke 50 dolar AS per ton.
Masalahnya, jika harga batu bara turun ke level rendah, berarti berefek juga ke penerimaan negara yang berarti mengurangi pendapatan. Pertanyaanya, dengan kondisi harga minyak yang lagi turun saat ini, apa saja saham yang terdampak?
Jika harga BBM lebih murah, terutama untuk non-subsidi, efeknya akan cukup luas ke emiten distribusi dan logistik karena biaya operasional menjadi lebih murah. Lalu, bagi emiten logam industri seperti nikel yang butuh bahan bakar untuk smelter, serta pembangkit listrik, dan petrokimia seperti TPIA juga diuntungkan karena biaya pokok pendapatan lebih murah
Namun, hal ini jadi alamat buruk terhadap emiten yang punya korelasi langsung ke minyak mentah maupun komoditas energi dari batu bara, serta pengembangan energi baru terbarukan (karena energi fossil menjadi lebih murah).
Kali ini, kami akan mengulas 3 saham yang punya korelasi langsung dengan harga minyak:
Saham MEDC
MEDC secara umum memiliki dua bisnis utama, yakni pertambangan hulu migas, dan pembangkit listrik.
Untuk tambang migas, MEDC mengelola beberapa blok migas seperti Bualuang, Corridor, Natuna, Madura, Senoro, dan Oman. Lalu, untuk pembangkit listrik ada panas bumi Ijen dan Bonjol, serta beberapa pembangkit listrik tenaga gas dan batu bara.
Kinerja laba bersih MEDC sepanjang semester I/2024 dari segi laba bersih terlihat mengesankan setelah naik 80,57 persen menjadi 202,27 juta dolar AS. Namun, jika dilihat dari bisnis utamanya, pendapatan MEDC cuma naik 4,4 persen menjadi 1,16 miliar dolar AS. Itu pun hanya ditopang ari bisnis kontrak penjualan migas yang naik 10,66 persen senilai 1,04 miliar dolar AS. Sementara itu, pendapatan dari segmen lainnya turun.
Bahkan, laba kotor MEDC turun sebesar 3,98 persen menjadi Rp451,34 miliar. Hal itu disebabkan biaya pokok pendapatan naik lebih tinggi dari pendapatan sehingga gross profit margin MEDC tergerus menjadi 38,73 persen dibandingkan dengan 42,11 persen pada periode sama tahun sebelumnya.
Lalu, apa yang membuat laba bersih MEDC terbang 80 persen?
Jawabannya adalah pendapatan dari entitas asosiasi dan ventura bersama yang naik 312 persen menjadi 88,57 juta dolar AS.
Perseroan memiliki beberapa entitas asosiasi seperti, AMMN, PT Api Metra Graha, dan lainnya. Lalu, perseroan juga punya ventura bersama seperti Transasia Pipeline Company Pvt. Ltd, dan PT Medco Geopower Sarulla. Dari entitas asosiasi dan ventura bersama itu, kinerja AMMN yang cukup mempengaruhi laba bersih MEDC. Pasalnya, kinerja AMMN di semester I/2024 mencatatkan kenaikan signifikan dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya yang belum dapat izin ekspor.
Namun, jika harga minyak turun ke 60-an dolar AS per barel atau bertahan di 70 dolar AS hingga akhir tahun. Kinerja pendapatan AMMN berpotensi tertekan.
Soalnya, kontribusi pendapatan dari migas masih mendominasi kinerja MEDC. Hal itu bisa dilihat secara historis ketika booming shale oil pada 2012 hingga harga minyak turun ke 30-an dolar AS pada 2016, saham MEDC mencatatkan rata-rata penurunan pendapatan tahunan sebesar 12,09 persen per tahun.
Namun, untuk laba bersih, MEDC bisa menjaganya lebih baik selama kinerja AMMN tidak goyah.
Saham AKRA
Saham AKRA dianggap punya korelasi positif dengan pergerakan harga minyak dunia. Penyebabnya, saham AKRA memiliki bisnis trading BBM secara Business to Business maupun ke ritel yang subsidi dan non-subsidi. Saat harga minyak naik, AKRA dinilai bisa mendapatkan margin lebih bagus, sedangkan saat harga minyak turun margin lebih rendah. Apalagi jika harga turun dan tidak diiringi dengan kenaikan konsumsi.
Apalagi, driver utama pendapatan AKRA masih berasal dari trading BBM. Sampai semester I/2024, pendapatan AKRA senilai Rp18,65 triliun, yang Rp13,97 triliun berasal dari penjualan BBM.
Hingga semester I/2024, kinerja saham AKRA juga lagi dalam tekanan. Perseroan mencatatkan penurunan pendapatan sebesar 2,71 persen menjadi Rp1 triliun.
Penurunan laba bersih itu disebabkan oleh penurunan pendapatan sebesar 6,06 persen menjadi Rp18,65 triliun. Penurunan pendapatan disebabkan dari segmen perdagangan BBM dan Bahan Kimia yang turun 7,46 persen menjadi Rp17,29 triliun. Untuk segmen lainnya, terutama kawasan industri masih bertumbuh positif sebesar 9,67 persen menjadi Rp672 miliar.
Ditambah biaya pokok pendapatan yang naik membuat laba kotor juga turun 12,48 persen. Tingkat gross profit margin AKRA tergerus menjadi 8,49 persen dibandingkan dengan 9,11 persen pada periode sama tahun sebelumnya.
Untungnya, dari biaya operasional bisa tetap terjaga, serta AKRA mendapatkan tambahan keuntungan dari pendapatan usaha lainnya yang naik 24,03 persen menjadi Rp26,8 miliar, penghasilan keuangan naik 195 persen menjadi Rp147 miliar, serta bagian laba bersih atas entitas asosiasi naik 184 persen menjadi Rp30,71 miliar. Sehingga tingkat penurunan laba bersih bisa terjaga hanya 2 persen.
Dengan porsi pendapatan dari transaksi BBM yang masih mendominasi kinerja perseroan, kami menilai AKRA berpotensi mendapatkan tekanan kinerja jika harga minyak lanjut mencatatkan penurunan.
Secara historis saat booming shale oil, penurunan kinerja AKRA akan mengalami delay jika dibandingkan dengan MEDC yang sudah mengalami sejak 2012. Sementara, AKRA baru mengalami penurunan kinerja di 2014 ketika terjadi penurunan harga minyak yang cukup signifikan.
Dalam periode 2014-2016, AKRA mencatatkan rata-rata penurunan pendapatan sebesar 17,71 persen per tahun.
Namun, catatannya, kini AKRA punya lini bisnis baru, yakni kawasan industri yang pertumbuhannya cukup agresif. Jika pertumbuhan bisnis kawasan industri bisa menjadi segmen pendapatan kedua terbesar dalam 5 tahun ke depan. Penurunan harga minyak kali ini efeknya lebih rendah ke perseroan.
Saham ELSA
ELSA menjadi saham yang berkorelasi dengan minyak, tetapi tidak terdampak langsung dengan fluktuasi harga komoditas tersebut.
Soalnya, ELSA ini penyedia jasa yang bantu emiten hulu migas produksi. Dengan sistem kontrak, ELSA tidak terpengaruh secara langsung jika ada penurunan atau kenaikan harga minyak dalam jangka pendek.
Bisnis ELSA bisa terpengaruh dari kenaikan dan penurunan harga minyak jika posisinya sudah berdampak signifikan terhadap aktivitas migas. Misalnya, saat harga turun, secara perlahan penambang migas mengurangi aktvitasnya sehingga potensi pertumbuhan bisnis perseroan cenderung melambat.
Begitu juga saat harga minyak naik hingga meningkatkan aktivitas tambang, ELSA akan diuntungkan karena ada potensi pertumbuhan pendapatan ke depannya.
Hingga semester I/2024, kinerja ELSA bisa dibilang cukup bagus. Perseroan mecatatkan pertumbuhan laba bersih sebesar 77,12 persen menjadi Rp442 miliar.
Kenaikan laba bersih itu didorong oleh kenaikan pendapatan sebesar 7,8 persen menjadi Rp6,31 triliun.
Lalu, didorong juga dengan beban pokok pendapatan yang hanya naik 6,42 persen atau di bawah pertumbuhan pendapatan. Sehingga laba kotor ELSA naik 20,92 persen, sedangkan gross profit margin naik menjadi 10,59 persen dibandingkan dengan 9,44 persen.
Salah satu pendorong utama laba bersih ELSA lainnya adalah pendapatan keuangan yang naik 3,12 persen menjadi Rp128 miliar.
ELSA sendiri baru saja menang gugatan terkait deposito perseroan di MEGA senilai Rp111 miliar dan bunga Rp69,1 miliar. Kami menilai kenaikan pendapatan keuangan ELSA yang signifikan ada kontribusi dari pendapatan bunga senilai Rp69,1 miliar tersebut.
Namun, hal ini berarti kinerja laba bersih ELSA bisa saja turun di 2025 karena tidak ada sumber pendapatan non-operasional dari bunga deposito MEGA tersebut.
Jika melihat efek penurunan kinerja keuangan ELSA saat periode booming shale oil 2012-2017, kinerja pendapatan ELSA baru mulai turun pada 2015 dan langsung pulih di 2017. Adapun, rata-rata penurunan pendapatan periode 2015-2016 hanya kecil, yakni 7,38 persen per tahun.
Kesimpulan
Menurut kami, penurunan harga saham yang terjadi related minyak, terutama untuk AKRA dan ELSA yang dampaknya cenderung kecil, bisa menjadi peluang beli. Apalagi, saham terkait migas ini memiliki tingkat dividen yang menarik.
Misalnya jika MEDC bisa turun ke Rp1.000 hingga di bawahnya karena sentimen harga minyak ini akan menjadi posisi menarik dibeli. Potensi capital gain atau kenaikan harga saham akan terasa dalam 1-2 tahun ke depan.
Lalu, jika saham AKRA turun ke Rp1.100 - Rp1.300 per saham bisa menarik juga karena bisa mengoptimalkan keuntungan dividend yield yang didapatkan.
Terakhir jika ELSA bisa dapat di harga Rp390 sampai Rp400 per saham juga menarik karena mendapatkan potensi dividend yield yang optimal.
Kira-kira, apakah saham-saham related minyak ini bisa turun ke area yang menarik tersebut?
Mulai Langkah Investasi Saham-mu dengan Dua Program Mikirduit Ini!
Kamu bisa mulai perjalanan investasi saham-mu dari nol dengan Saham Pertama, yang bisa dijadikan guideline dasar untuk membentuk strategi investasimu sendiri.
Promo Saham Pertama September: Diskon Rp100.000 menjadi Rp200.000 dengan benefit:
- e-Book Saham Pertama
- Rekaman Seminar Saham Pertama
- Kalkulator harga wajar
Checkout sekarang dengan klik di sini
Jika kamu mau paket lengkap dengan analisis 31 saham dividen untuk jangka panjang, grup diskusi, publikasi bulanan, dan event online bulanan, bisa join PAKET SEPTEMBER CERIA diskon Rp400.000 menjadi Rp500.000 (untuk periode satu tahun Mikirdividen). Benefitnya:
- Semua yang di Saham Pertama
- Member Mikirdividen (1 tahun)
- 31 Ulasan Saham Dividen (update per 3 bulan)
- 24 Digest Publikasi Bulanan (update setiap akhir bulan)
- Grup Diskusi
- Event online bulanan
Daftar sekarang dengan klik di sini
Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini