Prospek 4 Saham yang 'Murtad' dari Bisnis Batu Bara

4 Saham ini sudah proses rencana diversifikasi bisnis ke non-batu bara thermal. Keempatnya punya cara yang beda-beda, lalu siapa yang punya prospek paling oke?

Prospek 4 Saham yang 'Murtad' dari Bisnis Batu Bara

Mikirduit – Ada empat saham yang awalnya memiliki porsi pendapatan batu bara yang signifikan, tapi perlahan mulai menguranginya dan fokus ke bisnis yang dianggap lebih ramah lingkungan. Sepanjang perjalanannya, bagaimana prospek saham yang murtad dari bisnis batu bara tersebut? 

Keempat saham itu antara lain, UNTR, HRUM, INDY, dan ADRO. Keempatnya sudah mengembangkan bisnis di luar batu bara selama beberapa tahun terakhir. Kami akan ulas nasib saat ini dan prospek ke depannya.

Saham UNTR

Sebenarnya, UNTR bukanlah emiten yang fokus di bisnis pertambangan batu bara. Dua bisnis terbesar UNTR adalah penjualan alat berat dan kontraktor pertambangan. Kedua bisnis itu berkontribusi sebesar 70-80 persen dari total pendapatan dalam periode 2018-2024. 

Sementara itu, bisnis tambang batu bara UNTR hanya berkontribusi sekitar 20 persen. 

Lalu, strategi UNTR juga tidak melepas bisnis batu baranya, melainkan terus menambah bisnis non-batu bara. Sehingga secara bertahap di masa depan bisnis batu bara UNTR bisa makin tergerus porsinya. 

Adapun, beberapa aksi ekspansi UNTR antara lain: 

  • Akusisi tambang emas PT Sumbawa Jutaraya pada 2015. Namun, saat itu tambang emas masih dalam proses eksplorasi dan mulai beroperasi pada semester II/2024
  • Akuisisi Tambang Emas Martabe pada akhir 2018.
  • Akuisisi ARKO yang bisnisnya pembangkit listrik tenaga air mini hydro sebesar 36,6 persen pada 2022
  • Akuisisi 70% saham tambang nikel Stargate senilai Rp3,22 triliun pada akhir 2023
  • Akuisisi Supreme Energi Rantau  Dedap senilai Rp,125 triliun pada 2024

Namun, deretan ekspansi yang dilakukan UNTR sejak 2015 (akuisisi tambang emas yang masih tahap eksplorasi) dan 2018 saat akuisisi Martabe itu baru memberikan kontribusi pendapatan sebesar 7,33 persen dari total pendapatan per kuartal III/2024. 

Sementara itu, 73,64 persen pendapatan UNTR masih diperoleh dari bisnis alat berat dan kontraktor pertambangan, sedangkan bisnis batu bara UNTR berkontribusi sebesar 19,5 persen. 

Dengan strategi UNTR yang memilih menambah portofolio tanpa melepas bisnis batu bara, kinerja keuangannya berpotensi tumbuh lebih agresif saat ekonomi China membaik. Pasalnya, dengan kondisi ekonomi China membaik ekspektasinya permintaan komoditas juga meningkat sehingga bisnis tambang batu bara dan emas serta mineral lainnya bisa bertumbuh lebih tinggi. 

Selain itu, kenaikan harga komoditas juga bisa memicu kebutuhan alat berat yang lebih banyak, serta permintaan kontraktor dengan biaya yang lebih menarik. Sehingga kinerja UNTR akan sangat menarik. 

Namun, hal itu juga yang menjadi kelemahannya. Jika harga komoditas mengalami normalisasi seperti pada periode 2023-2024, kinerja UNTR berpotensi merosot. 

Untuk itu, kami menyarankan jika ingin investasi jangka panjang di UNTR harus pegang di harga agak bawah sekitar Rp22.000 - Rp24.000 per saham.

Sementara itu, bisnis energi UNTR akan sulit memiliki kontribusi pendapatan yang besar karena karakter bisnis energi baru terbarukan itu sifatnya recurring income. Kecuali UNTR mau ekspansi menambah pembangkit listrik energi baru terbarukannya dengan kapasitas yang besar. 

Lalu, UNTR juga terlibat dalam negosiasi NCKL dengan para investor untuk aksi right issuenya. UNTR bersaing dengan Glencore dan Taisho dari Jepang. Jika UNTR mendapatkan NCKL, hal itu akan menambah portofolio bisnis nikel perseroan. 

Dari pembicaraan dengan manajemen NCKL setelah RUPS Luar Biasa terakhir, sesuai ketentuan aksi right issue berpotensi dilakukan di tahun depan.

Strategi Meningkatkan Potensi Keuntungan di Saham dengan Margin Trading
Banyak jalan menuju Roma, begitu juga dengan strategi meningkatkan potensi keuntungan di saham. Berikut ini salah satu cara untuk meningkatkan potensi keuntungan di saham.

Saham INDY

Cara INDY murtad dari batu bara agak berbeda dengan UNTR, INDY menggunakan strategi melakukan divestasi aset-aset terkait batu bara dengan tujuan untuk bisa meningkatkan porsi bisnis non-batu baranya. Efeknya, tren kinerja keuangan INDY terus menurun sejak 2021 ketika gong diversifikasi bisnis dilakukan. 

Langkah pertama, INDY melepas MBSS kepada PT Galley Andhika Arnawarna senilai 41,31 juta dolar AS pada Oktober 2023. Lalu, INDY juga menjual PTRO kepada PT Caraka Reksa Optima pada 2022 senilai 146 juta dolar AS. 

INDY juga menjual PT Multitambangjaya Utama senilai 218 juta dolar AS kepada  CUAN pada 2023. Lalu, INDY juga melepas saham PT Trisetia Citagraha senilai Rp26,77 miliar kepada Grup Prajogo Pangestu. Trisetia Citagraha sendiri adalah anak usaha INDY di bidang pengusahaan hutan, yang sebenarnya tidak terlalu terkait dengan bisnis batu bara.

Namun, kami memahami alasan INDY lebih memilih divestasi bisnis batu baranya dibandingkan dengan mempertahankannya. Alasannya adalah karena bisnis batu bara INDY memiliki tingkat margin keuntungan yang lebih rendah dibandingkan dengan kompetitornya. Bahkan, saat emiten batu bara lainnya mencatatkan laba dari bisnsinya, INDY malah mencatatkan kerugian di bisnis batu baranya pada 2019. 

Saat periode booming batu bara pada 2021-2022, margin keuntungan INDY dari bisnis tersebut hanya sekitar 16-24 persen, sedangkan emiten batu bara lainnya bisa mencapai di atas itu bahkan hingga lebih dari 40 persen. Sementara itu, saat periode normalisasi seperti saat ini, margin keuntungan bisnis batu bara INDY hanya di bawah 10 persen.

INDY melakukan beberapa aksi untuk mengurangi porsi pendapatan batu baranya seperti, mengembangkan tambang emas milik Masmindo Dwi Area. Tambang emas ini diperkirakan bisa berproduksi secara komersial pada 2025 dengan total investasi diperkirakan tembus 300 juta dolar AS. 

Lalu, INDY juga punya tambang bauksit di Kalimantan Barat melalui PT MEK KG Mining. Kapasitas tambang bauksitnya sekitar 1 juta ton per tahun. Total investasi yang telah digelontorkan INDY untuk tambang bauksit tersebut sekitar 14,7 juta dolar AS. 

INDY juga mengakuisisi perusahaan perdagangan nikel PT Rockgeo Energi Nusantara pada 2021. Volume perdagangan nikel Rockgeo disebut mencapai 44.000 wet metrik ton bijih nikel di kuartal I/2023. Total investasi INDY di perusahaan ini hingga kuartal I/2023 senilai 3,2 juta dolar AS.

Selain bisnis mineral, INDY juga punya bisnis hijau seperti PT EMITS yang menyediakan jasa instalasi solar panel. Perseroan disebut telah mendapatkan kontrak hingga 51 megawatt peaks dengan target bisa tembus 500 megawatt peaks pada 2025. Total investasi di sini sekitar hingga 2023 sekitar 3,7 juta dolar AS. 

Lalu, INDY juga punya Indika Nature yang telah akuisisi 4 konsesi HTI seluas 170.000 hektar untuk produksi wood pellet dan biomassa, serta punya potensi untuk carbon credit trading. INDY sudah menanam sekitar 7.500 hektar pohon kaliandra untuk fase pertama dan akuisisi PT Nusantara Aromatik Nusantara, produsen minyak atsiri. Total investasi di sini sekitar 43,4 juta dolar AS. 

Di luar itu, perseroan memiliki tiga entitas terkait kendaraan listrik, yakni ALVA untuk produksi kendaraan listrik dengan total investasi 20,7 juta dolar AS, FIM sebagai manufaktur bus listrik dan baterai dengan investasi 2,6 juta dolar AS, serta Energi Makmur Buana yang merupakan distributor bus listrik dan fasilitas pendukung dengan investasi sekitar 1,3 juta dolar AS. 

Untuk di bisnis bus listrik, INDY tidak memegang 100 persen saham FIM dan Energi Makmur Buana. Perseroan hanya memegang 60 persen di FIM dan 51 persen di Energi Makmur Buana. Kedua perusahaan itu hasil kerja sama dengan Foxconn, dan produk bus yang dirilis adalah bus Foxtron, Edison Motors, dan penyedia fasilitas pengisian listrik dengan brand Daeyong Chaevi dan AC untuk bus listrik dengan merk BOA. 

Masalahnya, apakah dengan ekspansi ke bisnis baru dan divestasi aset batu bara, INDY bisa mencapai target  bisnis non-batu bara punya porsi 50 persen di tahun depan?

Dari ekspansi INDY di bisnis non-batu bara itu, kami menilai dalam 3 - 5 tahun ke depan, INDY berpotensi mendapatkan pendapatan tambahan dari: 

  • Tambang emas (ekspektasi mulai 2025)
  • Tambang bauksit
  • Carbon credit jika sudah mulai efektif dan berjalan
  • Ekosistem kendaraan listrik dari baterai, kendaraan roda dua, bus, penyedia charging station, hingga onderdil kendaraan listrik
  • Hingga bisnis pembuatan alat kesehatan

Namun, untuk mencapai porsi pendapatan non-batu bara berkontribusi 50 persen di 2025 cukup berat. Pasalnya, dari 2021 hingga kuartal III/2024, bisnis non-batu bara baru mencatatkan kenaikan kontribusi dari 2,58 persen menjadi 7,6 persen. Dengan pendapatan dari tambang emas, kami nilai kenaikan porsi menjadi sekitar 10-15 persen.

4 Faktor yang Bikin Saham Berpotensi Menjadi Multibagger
Mendapatkan saham multibagger jadi keinginan semua orang, tapi gimana cara mendapatkannya? kami ulas 4 faktor yang bikin saham bisa jadi multibagger

Saham HRUM

HRUM melakukan diversifikasi bisnis dengan cara memperluas bisnisnya ke sektor nikel. HRUM mulai agresif masuk ke bisnis nikel sejak melakukan akuisisi PT Position dan Nickel Mines Limited asal Australia pada 2020. Dari periode 2020 itu, HRUM menargetkan bisnisnya bisa bertransformasi menjadi perusahaan nikel dengan kontribusi pendapatan dari segmen tersebut sebesar 75 persen - 80 persen dalam lima tahun ke depan alias di tahun depan. 

Saat itu, HRUM disebut melakukan investasi pembangunan smelter hingga 100 juta dolar AS. 

Lalu, perseroan juga mengakuisisi sepenuhnya saham PT Infei Metal Industry pada September 2023 senilai 70,83 juta dolar AS. Infei Industri memiliki smelter nickel pig iron yang sudah beroperasi sejak Mei 2022. 

HRUM juga memborong 80,7 persen saham PT Westrong Metal Industry pada Januari 2024. Lalu, teranyar, HRUM juga memperoleh kendali atas PT Nickel Internasional Capital Pte. Ltd. setelah memiliki 51 persen saham tersebut senilai 42,06 juta dolar AS pada 26 September 2024.

Aksi ekspansi HRUM di sektor nikel sejak 2020 ini sudah mulai menghasilkan. Per September 2024, kontribusi kinerja segmen pemurnian nikel sudah sebesar 52,4 persen. Bahkan, melampaui kinerja bisnis batu bara-nya. 

Berbeda dengan INDY, HRUM justru bisa saja mencapai target 70-80 persen pendapatannya dari nikel pada 2025 nanti. Apalagi, jika didorong oleh kenaikan harga nikel.

Saham ADRO

Saham ADRO menjadi yang paling disorot karena berencana melakukan spin off AADI, yang merupakan bisns batu bara thermalnya. Memang sudah seberapa kokoh bisnis non-batu bara ADRO?

Bisnis non-batu bara ADRO dimulai dari bisnis pembangkit listrik yang sudah dibangunnya sejak lama sejak 2013. Salah satu PLTU pertama ADRO adalah PT Makmur Sejahtera Wisesa dengan kapasitas 2x30 Megawatt. 

Selanjutnya, ADRO mulai mengurangi PLTU dengan cara membangun proyek PLTU biomassa pada 2021. Jadi, PLTU Makmur Sejahtera Wisesa sudah menggunakan pembakaran dengan Biomassa untuk mengurangi emisi karbon. Selain itu, ADRO juga memasang pembangkit listrik tenaga surya di PLTU Makmur Sejahtera Wisesa dengan kapasitas 35 kilo Watt peak.

Selain itu, ADRO juga punya perusahaan pembangkit listrik yang dibangun dengan konsorsium dua pihak, yakni ADRO dan East-West Power  Co. Ltd. dari Korea. Perusahaan itu bernama PT Tanjung Power Indonesia. ADRO disebut memiliki 65 persen saham, sedangkan East-West Power hanya memiliki 35 persen. Kapasitas PLTU itu sebesar 2x100 MW di Tabalong, Kalimantan Selatan. 

ADRO juga memasang Pembangkit listrik naga surya dengan kapasitas 75 kilo Watt di atas PLTU Tanjung Power tersebut. 

Lalu, ADRO juga memiliki PLTU Batang dengan konsorsium bersama Electric Power Development (J-Power) dan Itochu Corproation melalui PT Bhimasena Power Indonesia pada 2011. Konsorsium itu membangun PLTU batang dengan kapasitas 2x1.000 Megawatt. PLTU batang disebut menggunakan teknologi USC yang membuat pembakaran batu bara bisa menghasilkan efisiensi konversi energi yang lebih tinggi. Konon, teknologi itu juga diklaim bisa mengurangi jumlah emisi karbon per unit energi yang dihasilkannya. 

Selain itu, bisnis ADRO yang dianggap bukan batu bara thermal adalah bisnis batu bara metalurgi. Kontribusi bisnis batu bara metalurgi ini masih kecil, terakhir di kuartal III/2024 sebesar 13,77 persen dari total pendapatan ADRO. Namun, trennya terus bertumbuh dibandingkan saat ADMR IPO hanya sebesar 9,28 persen. 

Permintaan batu bara metalurgi diperkirakan bisa meningkat seiring dengan banyaknya smelter yang dibangun di Indonesia. Apalagi, dari segi margin keuntungan, batu bara metalurgi lebih bagus dibandingkan dengan batu bara thermal. Rata-rata margin keuntungan bisnis batu bara metalurgi ADRO sekitar 35 persen sampai 40 persen, sedangkan batu bara thermal sektiar 18 persen sampai 20 persen. 

Secara keseluruhan, kinerja ADRO di luar bisnis batu bara thermal baru berkontribusi sekitar 15 persen. Namun, jumlah itu berpotensi bertambah di masa depan jika beberapa rencana ADRO terealisasi seperti:

  • Pembangunan smelter aluminium yang diperkirakan rampung pada akhir 2025 atau awal 2026
  • Ekspor listrik ke Singapura pada 2028
  • Penyelesaian pembangunan PLTA di 2030

Hal itu juga belum termasuk rencana ekspansi ADRO yang belum direncanakan pasca spin off nanti. 

Kesimpulan

Dari keempat saham yang berencana murtad dari bisnis batu bara ini, HRUM yang berpotensi mencapai target bisa mengubah mayoritas bisnisnya menjadi emiten smelter nikel. Soalnya, saat ini, 50 persen pendapatan perseroan sudah berasal dari bisnis tersebut. Meski, dari segi laba bersih belum karena margin keuntungan dari bisnis smelter nikel cukup rendah, hanya 4,82 persen per kuartal III/2024. 

Namun, jika harga nikel mencatatkan kenaikan bisa tembus di atas 20.000 dolar AS per ton, kami perkirakan keuntungan HRUM juga bisa tumbuh lebih bagus lagi. 

Selain itu, diversifikasi bisnis yang dijalankan oleh UNTR dan ADRO juga memiliki prospek pertumbuhan yang lebih bagus meski cenderung bertahap. Jika ADRO mengakuisisi tambang batu bara metalurgi lainnya, hal itu bisa mendorong pertumbuhan kinerja perseroan lebih agresif lagi. Apalagi, jika pendapatan dari smelter aluminium sudah terakumulasi ke kinerja perseroan.

Untuk INDY, kami justru merasa pesimistis karena pertumbuhan kinerja bisnis yang baru cenderung lebih lambat dari ekspektasi. Hanya saja, perlu dilihat seberapa besar efek tambang emas yang beroperasi di 2025 terhadap kinerja perseroan. Jika hasilnya positif bisa menjadi game changer untuk saham INDY. 

Kalau kamu, lebih pilih saham batu bara yang diversifikasi bisnis mana nih?

Yuk Join Grup Mikirdividen untuk Dapat Pilihan Saham Investasi Jangka Panjang Serta Diskusi dan Update Saham Eksklusif Bersama Ratusan Investor Saham Lainnya

Jika kamu ingin tahu atau mau langsung gabung ke Mikirdividen, kamu bisa klik di sini . Ada promo spesial diskon langsung Rp200.000 untuk langganan setahun! CUMA SAMPAI 31 Desember 2024 dan Kuota terbatas!

Langganan Sekarang dan dapatkan Fix Rate perpanjangan seperti harga pembelian pertama selama dua tahun ke depan.

Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini