Prospek Saham TINS yang Anti Jeblok Meski Ada Kasus Korupsi
Saham TINS sangat anomali saat didera kasus korupsi yang dinilai punya tingkat kerugian untuk negara sangat besar, harga sahamnya malah nggak ARB. Kenapa ya?
Mikirduit – Saham PT Timah Tbk. (TINS) telah naik hampir 63 persen dalam sebulan terakhir. Padahal, perseroan juga dilanda kasus korupsi yang dianggap bisa merugikan Rp271 triliun. Kira-kira, apa yang membuat saham TINS bisa naik dan masih ada yang mau beli?
Kenaikan harga saham TINS selaras dengan tren kenaikan harga timah dunia mendekati level tertinggi Juli 2023. Per 4 April2024, harga timah dunia berada di level 28.000 dolar AS per ton. Jika dilihat pergerakan harga saham TINS dengan harga timah dunia memang selaras.
Harga timah pun diprediksi terus naik karena adanya penurunan volume ekspor dari Indonesia, selaku eksportir terbesar. Apalagi, dari catatan Reuters, ekspor timah Indonesia menyusut jadi hanya 400 metrik tonpada Januari 2024.
Penurunan ekspor ini disebabkan adanya perubahan kebijakan perizinan pertambangan di Indonesia yang membuat pengiriman belum dilakukan. Ditambah, ada penghentian operasi tambang timah terbesar dunia di Myanmar.
Adapun proses persetujuan ekspor yang masih nyangkut di Kementerian ESDM membuat pasokan timah global berpotensi tergerus. Apalagi, secara sentimen untuk jangka panjang, pemerintah Indonesia juga berencana membatasi ekspor logam olahan untuk hilirisasi agar memiliki nilai tambah.
Lalu, apakah hal ini akan positif untuk TINS? sebenarnya secara fundamental ya tidak juga. Toh, masalahnya adalah produksi timah Indonesia belum dapat izin ekspor. Sehingga, mau harga naik setinggi apapun, TINS belum mendapatkan pendapatan dengan harga tersebut.
Prospek Saham TINS
Kinerja keuangan TINS pun terus mengalami kerugian kuartalan sejak kuartal keempat di 2022. Per 2023, TINS mencatatkan kerugian Rp450 miliar. Pendapatan TINS pun turun 33 persen menjadi Rp8 triliun.
Ada apa dengan kinerja TINS 2023?
Pertama, TINS memang mencatatkan penurunan volume penjualan sebesar 30,86 persen menjadi 14.385 ton dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Kedua, di tengah volume penjualan yang turun, harga jual rata-rata timah TINS juga ikut turun sebesar 15 persen menjadi 26.583 dolar AS per ton dibandingkan dengan 31.474 dolar AS per ton pada tahun sebelumnya.
Ketiga, di saat yang sama beban umum dan administrasi TINS malah naik sebesar 9,5 persen menjadi Rp922 miliar. Beban tersebut pun sudah lebih tinggi dari pencapaian laba kotor TINS di 2023 yang cuma Rp465 miliar.
Lalu, apakah ada potensi kinerja TINS bangkit di 2024?
Ada beberapa peluang kinerja TINS bisa lebih baik seperti, optimalisasi kapasitias Ausmelt, smelter timah, TINS yang sudah beroperasi sejak 2023.
Manajemen TINS dalam public expose di akhir tahun mengungkapkan, tingkat produktivitas smelter tersebut di tahun pertama dan kedua sebesar 70-80 persen, sedangkan di tahun ketiga baru bisa full kapasitas 100 persen. Dari feasibility study disebutkan, smelter timah ini akan mampu mengolah bijih timah dari high, medium, dan low grade. Nantinya berbagai kualitas jenis timah itu akan di-mix dengan baik.
Prospek kedua adalah terkait kebijakan larangan ekspor bijih timah. Kabarnya, rencana itu akan diimplementasikan pada Juni 2023, tapi saat ini masih belum dilakukan. Manajemen TINS juga masih menunggu kabar tersebut.
Adapun, jika Indonesia menerapkan larangan ekspor bijih timah, efeknya akan cukup besar ke harga timah dunia. Pasalnya, Indonesia adalah eksportir timah terbesar dunia saat ini.
Risiko Saham TINS
Salah satu isu laten terkait risiko bisnis TINS adalah terkait keberadaan tambang ilegal, yang salah satunya berujung ke kasus korupsi yang diungkap baru-baru ini (sejak Akhir Maret 2024) yang diduga melibatkan Harvey Moeis dan Helena Lim, serta deretan eks oknum dari TINS, seperti MOchtar Riza Pahlevi eks Dirut TINS 2016-212, Emil Ermindra eks Direktur Keuangan TINS 2017-2019, Alwin Albar eks Direktur Operasi TIN pada 2017-221, serta beberapa pengusaha timah terkait.
Dalam keterbukaan kepada IDX, manajemen TIN menjelaskan kasus korupsi di TINS itu terjadi karena perseroan ingin mencari solusi aksi penambangan liar di area Izin Usaha Pertambangan (IUP)-nya. Salah satunya dengan melaksanakan kebijakan operasi berupa porgram sisa hasil pengolahan dan program kerja sama sewa menyewa smelter. Namun, dalam implementasinya, justru terjadi penyelewengan tersebut.
Secara historis, TINS sempat mengalami kerugian lagi pada 2019. Kala itu, perseroan mencatatkan kerugian sekitar Rp703 miliar. Beberapa penyebabnya antara lain kenaikan beban pokok pendapatan menjadi Rp18,16 triliun, serta kenaikan beban keuangan menjadi Rp781 miliar dibandingkan dengan Rp352 miliar pada tahun sebelumnya. Padahal, pendapatannya juga naik 75 persen menjadi Rp19,3 triliun.
Beban pokok TINS kala itu meroket karena bahan baku bijih timah naik hampir 100 persen menjadi Rp13,56 triliun.
Jika dilihat secara historis lebih jauh lagi, kinerja TINS memang sangat fluktuatif. Perseroan sempat mencatatkan margin keuntungan bersih paling oke pada 2008. Waktu itu, perseroan mencatatkan net profit margin sebesar 14,82 persen. Dengan pendapatan Rp9 triliun, perseroan bisa mendapatkan laba bersih Rp1,3 triliun.
Pencapaian itu baru bisa terulang lagi di 2021, tapi dengan net profit margin yang jauh lebih tipis, yakni 8,92 persen. Laba bersihnya memang Rp1,3 triliun, tapi itu didorong pendapatan yang mencapai Rp14,6 triliun.
Artinya, salah satu risiko terbesar dari bisnis TINS ini adalah kenaikan biaya pokok pendapatan yang bisa meroket setiap saat hingga membuat perusahaan tertekan. Selain itu, risiko regulasi yang bisa membuat ekspor terhambat dan kinerja perseroan juga tertekan.
Kesimpulan
Sebenarnya, saham TINS ini bisa dikembangkan menjadi perusahaan yang lebih besar lagi karena mereka menjadi salah satu sumber timah terbesar dunia. Namun, masalah pengelolaan tambang liar dari masyarakat setempat hingga ada dugaan penyelewengan kerja sama dengan pihak ketiga ini yang membuat TINS sulit bertumbuh lebih oke.
Untuk itu, kami tidak menyarankan untuk ambil saham TINS sebagai investasi jangka panjang. Alasannya, tingkat risiko tidak terduga dari masalah hukum hingga fluktuasi kinerja keuangan bisnis sangat tinggi sekali.
Saham TINS mungkin lebih cocok untuk swing trading jika trennya lagi naik. Apalagi, pergerakan harga saham TINS sangat selaras dengan harga timah dunia. Jika larangan ekspor bijih timah dilakukan, itu bisa mendorong harga timah dunia meroket lebih dari 30.000 dolar AS per ton dan membuat fluktuasi harga saham TINS juga tinggi.
Kamu ada yang masih nyangkut di saham TINS?
Musim Bagi Dividen Nih, Mau Tau Saham Dividen yang Oke dan Bisa Diskusi serta Tau Strategi Investasi yang Tepat?
Yuk join Mikirdividen, masih ada promo Berkah Ramadan hingga Rp200.000. Berikut ini benefit yang akan kamu dapatkan:
- Update review laporan keuangan hingga full year 2023-2024 dalam bentuk rilis Mikirdividen edisi per kuartalan (HINGGA Maret 2025)
- Perencanaan investasi untuk masuk ke saham dividen
- Grup Whatsapp support untuk tanya jawab materi Mikirdividen
- Siap mendapatkan dividen sebelum diumumkan (kami sudah buatkan estimasinya)
- Publikasi eksklusif bulanan untuk update saham mikirdividen dan kondisi market
Tertarik? langsung saja beli Zinebook #Mikirdividen dengan klik di sini
Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini