Review Portofolio Saham Lo Kheng Hong, Mana yang Menarik?
Mau tau apa saja portofolio saham Lo Kheng Hong, dan semenarik apa saham-saham koleksinya? baca ulasan lengkapnya di sini.
Mikir Duit – Lo Kheng Hong sering dianggap sebagai Warren Buffett Indonesia. Strategi value investing-nya yang konsisten membuat namanya begitu termashur di Indonesia. Namun, seberapa bagus portofolio saham Lo Kheng Hong ya?
Menurut penelusuran data pemegang saham di atas 5 persen, ada beberapa koleksi Lo Kheng Hong seperti, PT Gajah Tunggal Tbk. (GJTL), PT Clipan Finance Indonesia Tbk. (CFIN), PT Global Mediacom Tbk. (BMTR), dan PT Intiland Development Tbk. (DILD). Di luar itu, ada beberapa saham lainnya seperti, PT ABM Investama Tbk. (ABMM), PT Bank OCBC NISP Tbk. (NISP) dan PT Tunas Baru Lampung Tbk. (TBLA).
Nah, sekarang kita akan ulas ke-7 portofolio saham Lo Kheng Hong ini ya, kira-kira semuanya benar-benar berkualitas nggak sih?
PT Clipan Finance Indonesia Tbk. (CFIN)
CFIN adalah perusahaan pembiayaan yang berada di bawah PT Bank Panin Tbk. (PNBN). Secara keseluruhan, kinerja CFIN per 2022 cukup mengesankan. Laba bersihnya tumbuh 571 persen menjadi Rp310,72 miliar dengan laba per saham menjadi Rp77 per saham.
Namun, kenaikan kinerja laba bersih CFIN itu bukan didorong oleh pendapatan operasional dari keuntungan pemberian pembiayaan ke nasabah. Hal itu terefleksikan dari pendapatan perseroan yang hanya tumbuh 2,42 persen menjadi Rp1,5 triliun.
Lalu, apa yang mendorong pertumbuhan laba bersih CFIN? jawabannya ada di penurunan beban bunga untuk dana pembiayaan sebesar 47 persen menjadi Rp166 miliar. Lalu, CFIN juga menurunkan pencadangan sebesar 51 persen menjadi Rp323 miliar.
Jika membandingkan kinerja CFIN dengan tiga kompetitor lainnya, yakni PT Adira Finance Tbk. (ADMF), PT WOM Finance Tbk. (WOMF) dan PT BFI Finance Tbk. (BFIN), pertumbuhan kinerja laba bersih CFIN paling moncer sih.
Meski, dari segi pertumbuhan pendapatan, CFIN masih kalah dari WOMF dan BFIN. Paling mencolok BFIN, yang masih mampu mengerek pertumbuhan pendapatannya sebesar 33 persen.
Namun, jika melihat bisnisnya CFIN, tampaknya tidak ada yang spesial. Dari pangsa pasar perusahaan pembiayaan jelas kalah dari WOMF dan ADMF. Apalagi, sekarang ADMF sudah terintegrasi dengan ekosistem MUFG yang jadi pemilik PT Bank Danamon Tbk. (BDMN).
Secara valuasi, jika dibandingkan dengan rata-rata 5 tahun terakhir, price to book value CFIN sudah tinggi sebesar 0,3 kali, sedangkan rata-rata 5 tahun ada di 0,24 kali.
Namun, jika melihat secara sktoral, CFIN menjadi saham multifinance yang memiliki price to book value paling murah.
Pergerakan harga saham secara historis pun tidak begitu signifikan. Harga saham CFIN hanya naik 75 persen sejak 2008 dan 20 persen sejak 5 tahun terakhir.
Untuk pembagian dividen, CFIN lagi puasa tebar dividen nih sejak 2013. Sebelumnya, si CFIN ini memang terkenal rutin bagi dividen dari periode 1992-1995. Lalu, puasa selama 10 tahun, dan kembali bagi dividen pada 2005-2006, 2009-2013. Apakah di 2023 ini CFIN bakal bagi dividen karena sudah puasa 10 tahun ya?
Kesimpulannya, tidak ada yang spesial dari saham CFIN. Kita tidak tahu Lo Kheng Hong pegang di harga berapa yang membuatnya betah di saham ini ya.
PT Gajah Tunggal Tbk. (GJTL)
GJTL adalah emiten yang memproduksi ban milik Sjamsul Nursalim, salah satu mantan tersangka buron kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada krisis 1998. Namun, kini kasus Sjamsul Nursalim sudah di SP3 oleh pemerintah yang artinya penyelidikan kasusnya dihentikan dan sang taipan tak lagi menyandang kasus buron dan tersangka.
Di luar kontroversi itu, saham GJTL bisa dibilang pemimpin pasar untuk produksi ban. Pesaing utamanya di Indonesia ada dari PT Multistrada Sarana Tbk. (MASA) yang kini sudah dicaplok perusahaan ban asal Prancis, yakni Michellin.
Namun, industri bisnis GJTL ini sangat menantang dan berisiko besar. Buktinya saja nih, kinerja GJTL sepanjang 2022 malah merugi Rp181 miliar, dibandingkan dengan laba Rp80 miliar pada 2021. Padahal, dari segi pendapatan, GJTL mencatatkan kenaikan 12 persen menjadi Rp17 triliun.
Sayangnya, beban penjualan GJTL melejit tinggi 32 persen menjadi Rp1 triliun dibandingkan dengan sebelumnya cuma Rp760 miliar. Kenaikan beban penjualan diakibatkan beban biaya transportasi yang melejit tinggi.
Adapun, jika dibandingkan dengan MASA, secara valuasi GJTL jauh lebih murah dengan PBV 0,33 kali, sedangkan MASA 7,29 kali. Secara historis, valuasi GJTL juga masih murah dibandingkan dengan rata-rata 5 tahunnya yang sebesar 0,35 kali.