Saham AISA, Pesaing ICBP yang Jadi Pesakitan

Saham AISA pernah dianggap calon pesaing kuat ICBP karena memiliki lini bisnis yang lumayan komplit terkait consumer goods. Begini kisah pasang surut nasib AISA

Saham AISA, Pesaing ICBP yang Jadi Pesakitan

Mikirduit – PT FKS Food Sejahtera Tbk. atau AISA sempat menjadi salah satu saham consumer goods yang diperhitungkan dan bisa menjadi pesaing dari ICBP. Apalagi, bisnisnya sempat lumayan lengkap dari beras, makanan ringan, makanan instan, hingga CPO. Namun, AISA terkena badai besar sejak 2017 hingga 2018 karena dugaan beras oplosan. Lalu, bagaimana nasibnya kini?

AISA dari Pesaing ICBP Hingga Menjadi Pesakitan

PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk. atau AISA bukanlah emiten baru di BEI. Saham produsen snack Taro itu sudah IPO sejak 1997 dengan harga penawaran Rp136 per saham.  

Dulu, AISA disebut sebagai calon pesaing berat ICBP karena dari segi lini bisnisnya hampir sama. Mulai dari mie kering [meski bukan mie instan seperti Indomie], bihun, snack mie, wafer, biskuit, permen, beras, hingga minyak sawit.

Apalagi, pertumbuhan bisnis AISA juga sangat cepat. Jika melihat perkembangan bisnis AISA pada 2009 sampai 2013 cukup fantastis. Pertumbuhan laba bersihnya sangat pesat rata-rata di atas 30 persen.

Namun, apa yang membuat AISA tiba-tiba tenggelam hingga hampir delisting paksa akibat suspensi hampir dua tahun?

Kami melihat ada tiga faktor utamanya:

Pertama, AISA terlalu agresif mengambil pinjaman sehingga bukannya mempercepat pertumbuhan bisnisnya, malah jadi memperlambat.

Hal itu terlihat dari kinerja AISA mulai 2014 di mana laba bersihnya hanya tumbuh 7 persen. Penurunan laba bersih itu disebabkan oleh kenaikan beban utang dan beban usahanya.

Beban usaha AISA naik 32,77 persen menjadi Rp393 miliar. Penyebabnya ada kenaikan biaya promosi dan pengangkutan distribusi barang. Lalu, beban keuangan untuk bayar cicilan utang juga naik 19 persen menjadi Rp195 miliar.

Jika dilihat dari pos neraca keuangannya, utang bank jangka panjang AISA juga melejit 308 persen menjadi Rp1,3 triliun dibandingkan dengan sebelumnya Rp320 miliar.

Pergelutan AISA dengan utang berlanjut di tahun berikutnya. Pada 2015, AISA mencatatkan penurunan laba bersih 2,78 persen menjadi Rp323 miliar. Padahal, pendapatannya masih tumbuh 16,94 persen menjadi Rp6 triliun.

Penyebabnya hampir sama seperti 2014, yakni beban usaha naik 37 persen menjadi Rp539 miliar akibat kenaikan biaya promosi dan pengangkutan. Lalu, beban keuangan juga naik 22 persen menjadi Rp238 miliar.

Ditambah, jika di 2014 AISA menambah utang bank jangka panjang. Nah, pada 2015, AISA menambah utang bank jangka pendek sebesar 117 persen menjadi Rp1,6 triliun.

Tiba-tiba, di 2016, kinerja laba bersih AISA meroket 83,59 persen menjadi Rp593 miliar. Padahal, penjualannya cuma tumbuh 8,9 persen. Lalu, beban utang masih tinggi juga sekitar Rp300 miliar, meski AISA melakukan refinancing utang bank jangka panjang dengan penerbitan sukuk ijarah.

Di sisi lain, AISA malah melego anak usahanya di bidang kelapa sawit, yakni PT Golden Plantation Tbk. (GOLL) pada 2016 senilai sekitar Rp500 miliar. Pelepasan GOLL disebut menjadi salah satu opsi yang diambil untuk mengurangi beban utang perseroan.

Ternyata, laba bersih AISA pada 2016 didorong oleh laba atas penghapusan pajak penghasilan badan usaha karena beberapa entitas anak mengikuti program tax amnesty pada 2016. Total laba atas penghapusan utang pajak itu berkontribusi sekitar Rp229 miliar ke laba bersih AISA.

Artinya, dari aksi menambah pinjaman jumbo dalam dua tahun terakhir pada (2014 dan 2015), AISA belum mampu mengerek pertumbuhan pendapatannya lebih tinggi. Di sisi lain, beban keuangan terus berjalan dan membebani keuangan perseroan.

Kedua, di tengah posisi utang yang tinggi tersebut. AISA kena musibah setelah diduga memalsukan beras kualitas subsidi menjadi beras premium. Dari sini, keuangan AISA goyah. Apalagi, beberapa utang AISA digunakan untuk membiayai lini usaha beras tersebut. Serta, kontribusi bisnis beras terhadap laba bersih AISA juga cukup besar.

Gara-gara masalah di lini bisnis beras tersebut, pendapatan AISA pada 2017 turun 24 persen, tapi beban usaha naik 37 persen, serta beban utang naik 9 persen. Hasilnya, AISA merugi Rp552 miliar. Kenaikan beban usaha disebabkan oleh kenaikan beban promosi dan juga biaya gaji dan kesejahteraan karyawan.

Ketiga, perseteruan manajemen dan pemegang saham terjadi dalam RUPS tahunan AISA pada Juli 2018. Dalam RUPS itu, laporan persetejuan laporan keuangan perseroan 2017 ditolak dalam RUPS. Tidak ada yang mau tanda tangan persetujuan laporan keuangan tersebut. Direktur Utama AISA Joko Mogoginta bersama direksi lainnya melakukan walk out dari RUPS dengan alasan komisaris utamanya ditekan oleh Jaka Prasetya, perwakilan dari KKR yang memegang sekitar 9 persen saham AISA.

Joko Mogoginta menilai aksi Jaka Prasetya itu seperti pengambilalihan perusahaan secara paksa.

Adapun, saat itu, mayoritas komisaris memang menolak laporan keuangan, termasuk Hengy Koestanto, yang juga sepupu dari Joko Mogoginta.

Penolakan laporan keuangan perseroan pada 2017 oleh pemegang saham karena masalah kasus bisnis beras oplosan. KKR sebagai salah satu pemegang saham merasa manajemen tidak becus dalam mengelola bisnisnya.

Setelah RUPS usai, situasi makin ricuh karena terjadi dualisme manajemen. Di mana, ada kelompok direksi lama, yakni Joko Mogoginta dan kawan-kawan dan Hengky Koestanto sebagai direktur utama yang baru. Pasalnya, meski Joko Mogoginta walk out, RUPS tetap dilanjutkan dengan acara pergantian direksi.

Sampai akhirnya Hengky Koestanto yang merupakan cucu dari pendiri AISA resmi diangkat sebagai direktur utama pada Oktober 2018. Masalah tidak sampai disitu, Hengky sebagai direksi yang baru melakukan audit terhadap laporan keuangan AISA. Hasilnya, ada dugaan penggelembungan dana hingga Rp4 triliun ke dalam beberapa pos akutansi.

Sejak perseteruan di RUPS itu, saham AISA pun mulai disuspensi BEI hingga 2 tahun lamanya. Di sini, sempat ambigu alasan AISA disuspensi, apakah terkait PKPU utang atau masalah ribut di RUPS, dualisme manajemen, atau masalah laporan keuangan. Terlalu banyak masalah saham tersebut waktu itu.

Penyelamatan AISA

AISA di tangan Hengky Koestanto berjalan cukup sulit untuk mencari cara pelunasan kewajiban yang tertunda. Sebenarnya, ada opsi mudah, yakni meminta uang hasil penjualan GOLL pada 2016 senilai Rp500-an miliar plus bunga simpanannya dan juga deposito dari perusahaan produsen taro sekitar Rp20 miliar. Totalnya dinilai cukup untuk membayar seluruh kewajiban AISA.

Hal itu membuat Hengky sempat mengajak Joko Mogoginta damai dengan mengembalikan uang tersebut. Namun, hasilnya tidak jelas sampai akhirnya AISA diakuisisi oleh FKS Grup (FISH) pada 2020 lewat skema private placement dengan modal senilai Rp329 miliar.

Kini, sekitar 70 persen saham AISA dimiliki oleh FKS Group melalui PT Pangan Sejahtera Investama dan anak usahanya PT Asta Askara Sentosa.

Bisnis AISA pun tersisa dua, yakni makanan ringan yang kami nilai adalah snack Taro, waffer, dan snack mie serta makanan pokok yang kemungkinan adalah mie telor instan dan bihun.

Kinerja AISA Kini

Perkembangan kinerja AISA di bawah FKS Grup mulai membaik. Kini, utang berbunga AISA tersisa Rp341 miliar dengan mayoritas jangka pendek senilai Rp250 miliar.

Namun, AISA belum bisa memulihkan kinerja laba bersihnya setelah kehilangan lini bisnis beras dan menjual bisnis kelapa sawit.

Sampai semester I/2023, AISA mencatatkan penurunan pendapatan sebesar 3,98 persen menjadi Rp828 miliar. Penurunan pendapatan itu disebabkan penjualan produk makanan ringan yang turun sebesar 16,28 persen menjadi Rp486 miliar. Di sisi lain, penjualan makanan pokok tumbuh 16 persen menjadi Rp353 miliar.

Dari situ, AISA mencatatkan kerugian Rp5 miliar. Nominal kerugian itu lebih rendah dibandingkan dengan periode sama tahun lalu yang mencapai Rp24,9 miliar.

Kesimpulan

Saham AISA memang bisa menjadi salah satu opsi saham turnaround, setelah mengalami masa gelap di 2017-2019 hingga kini mulai bisa beroperasi normal di bawah bendera FKS Grup.

Meski begitu, kami tidak yakin AISA mulai menarik untuk di-hold dalam jangka panjang. Dengan beberapa alasan:

  • Valuasi secara price to book value yang dibandingkan dengan rata-rata lima tahunnya masih tergolong tinggi sebesar 1,36 kali, sedangkan secara historis 5 tahunnya sebesar 1,23 kali.
  • Pendapatan dari bisnis makanan ringan mencatatkan penurunan permintaan. Artinya, dari segi bisnis, ada tantangan untuk kembali mendongkrak pangsa pasar agar lini bisnis itu bisa kembali tumbuh positif
  • Dalam kondisi yang baru pulih, bisnis AISA berpotensi tertekan parah jika ada kejadian makro ekonomi yang tidak terduga seperti, resesi dan hal-hal lainnya yang tidak bisa dikendalikan.

Di sisi lain, dari kisah AISA ini kita bisa ambil pelajaran ketika ada emiten yang mencatatkan kenaikan utang yang signifikan, tapi setelah satu hingga dua tahun kenaikan utang omzetnya tidak tumbuh signifikan. Berarti, kita perlu waspada dengan emiten tersebut. Harus dipantau setiap kuartal apakah ada tanda-tanda risiko PKPU dan sebagainya.

Soalnya, ekspektasi ambil utang adalah untuk mendorong pertumbuhan bisnis yang lebih tinggi. (Kalau cuma refinancing nilai utang harusnya nggak bertambah signifikan). Namun, kalau perusahaan tidak mampu mengelola utang besar yang didapatkan menjadi omzet, berarti redflag tanda susah bayar utang nantinya.

Nah, kalau menurutmu, apakah saat ini AISA sudah menarik untuk dibeli dari bawah?

Untuk kamu yang mau tahu cara pilih saham dividen ala Mikirduit, bisa baca di 6 artikel series ini ya:

Referensi