Saham ASII dan INDF Murah, Mending Beli Induk atau Anaknya?
Saham ASII dan INDF sudah murah, tapi merasa nggak sih dalam 3 tahun terakhir kedua saham ini hanya berputar-putar di harga situ-situ aja?
Mikirduit – Ada dua saham holding perusahaan yang konon harganya lagi murah, yakni PT Astra International Tbk. (ASII) dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk. (INDF). Namun, kalau dilihat pergerakan harga sahamnya, saham holding ini cenderung bergerak stagnan di rentang itu-itu saja. Kenapa begitu ya? jadi lebih baik koleksi saham holdingnya atau anak usaha yang berkontribusi paling besar?
Jika melihat harga saham ASII pada periode 2020-2023, trennya bergerak di harga Rp5.000 - Rp7.000 per saham. Meski, jika dilihat dengan timeframe lebih panjang lagi, ASII pernah di harga Rp9.000-an pada 2017. Begitu juga INDF, harga saham yang membawahi ICBP dan SIMP itu bergerak di kisaran Rp6.000 - Rp8.000 selama periode 2020 - 2023. Meski, secara historis lebih lama lagi, INDF sempat ke Rp9.000-an pada 2016. Pertanyaanya, kenapa saham induk ini sulit mencapai level all time high yang lebih tinggi lagi?
Di sisi lain, saham-saham holding yang membawahi anak usaha lintas sektor ini rutin bagi dividen. Bahkan, dalam kasus INDF, tingkat dividennya lebih besar dibandingkan dengan ICBP. Jadi, apa yang menyebabkan pergerakan harga saham induk ini cenderung sideways?
Kami melihat ada beberapa penyebabnya:
Pertama, saham yang membawahi lini usaha lintas segmen akan terkena sentimen yang cenderung beragam. Misalnya, ASII, saat anak usahanya UNTR melesat, ASII juga ikut meroket. Jika dilihat grafiknya, chart harga saham ASII dan UNTR selaras, kecuali dalam beberapa kasus seperti awal 2023. Saham ASII mencatatkan kenaikan saat UNTR turun.
Di sini, disebabkan UNTR tengah tertekan oleh aksi jual setelah bagi dividen jumbo, sedangkan ASII cenderung naik seiring saham AUTO yang juga melejit di periode tersebut. Namun, penguatan ASII tidak setinggi AUTO karena terbebani oleh anak usaha lainnya, yakni penurunan harga saham UNTR dan saham AALI yang terus sideways.
Lebih miris INDF, pergerakan harga sahamnya sejak akhir 2022 kalah agresif dibandingkan dengan dua anak usahanya, yakni SIMP dan ICBP. Meski, pergerakan saham SIMP juga tidak terlalu tinggi dan cenderung sideways. Ditambah, korelasi dengan SIMP dan ICBP juga agak berlawanan ketika harga CPO naik, yakni positif bagi SIMP dan negatif bagi ICBP. Hal itu yang membuat sentimen INDF cenderung saling adu antara positif dan negatif.
Kedua, saham induk cenderung memiliki tingkat margin keuntungan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak usahanya. Pasalnya, margin keuntungan saham induk sudah dikonsolidasikan dengan anak usaha yang berada di bawahnya.
keterangan: jika melihat grafik, pergerakan kinerja ASII sangat mengikuti UNTR sebagai kontributor terbesar pendapatan perseroan. Namun, dari segi pergerakan kinerja, ASII masih di bawah UNTR, karena ASII juga menanggung beban jika anak usaha lainnya seperti AUTO, AALI, dan ASGR lagi melambat.
Misalnya, tren net profit margin ASII selama periode 2008-2022 cenderung turun dari 11,63 persen menjadi 9,6 persen. Di sisi lain, net profit margin UNTR lebih trennya naik dari 9,62 persen menjadi 16,99 persen.
Lalu, apa yang membuat net profit margin ASII turun? jawabannya anak usaha lainnya seperti AUTO, AALI, dan ASGR. Di mana, net profit margin AUTO turun dari 11,55 persen menjadi 7,14 persen. Lalu, net profit AALI juga turun dari 33,28 persen menjadi 7,91 persen, sedangkan net profit margin ASGR turun dari 6 persen menjadi 3,33 persen.
Dalam kasus INDF, induk dari ICBP dan SIMP ini justru memiliki tingkat net profit margin terendah. Sampai 2022, net profit INDF sebesar 5,73 persen. Kalah jauh dibandingkan dengan ICBP yang sebesar 7,07 persen maupun SIMP yang sebesar 6,73 persen.
Keterangan: grafik memperlihatkan kinerja laba bersih INDF bahkan sempat terlampaui ICBP disebabkan adanya kerugian di SIMP. Hal itu yang membuat laju kinerja saham induk terkadang kurang atraktif jika ada anak usaha yang nasibnya lagi kurang bagus.
Dari dua faktor itu saja telah tergambarkan, saham induk cenderung memiliki beban berat karena harus mengonsolidasikan kinerja dari anak usahanya yang berbeda segmen bisnis. Jadi, lebih baik koleksi anak usaha yang berkontribusi terbesar ke induk atau induk usahanya?
Pilih Induk atau Anak Emasnya?
Jawabannya tergantung, karena setiap induk bisnis memiliki karakter yang berbeda. Misalnya, kami menghitung BETA dari ASII, UNTR, INDF, dan ICBP. Hasilnya berbeda jauh.
Beta saham adalah indikator yang menggambarkan volatiltias suatu aset investasi dibandingkan dengan kondisi pasar. Misalnya, kita ingin melihat volatilitas saham ASII dengan IHSG sebagai representatif gambaran pasar saham di Indonesia. (kami menghitung BETA saham di Indonesia dengan membandingkannya ke IHSG)
Hasilnya, untuk ASII memiliki karakter yang cukup agresif dibandingkan dengan UNTR. BETA ASII sebesar 1,37 di mana jika BETA lebih besar dari 1, berarti tingkat volatilitasnya bisa lebih besar daripada IHSG. Sementara itu, BETA dari UNTR sebesar 0,96 yang artinya memiliki volatilitas yang sedikit lebih rendah dibandingkan dengan IHSG.
Hal tersebut berbanding terbalik dengan INDF dan ICBP. BETA INDF hanya sebesar 0,19 yang artinya tingkat volatilitas harga sahamnya cenderung rendah atau di bawah dari pergerakan IHSG. Namun, BETA ICBP malah negatif 0,01 yang berarti pergerakan ICBP punya potensi berlawanan dengan pergerakan IHSG.
Dari melihat data ini, ASII dan INDF memiliki karakter yang berbeda dengan anak usahanya. Jadi, mana yang terbaik beli induknya atau anak emasnya?
Keduanya jelas menarik, tapi kami menyarankan untuk pilih salah satu mau simpan induknya atau anaknya.
Strateginya, jika ingin masuk ke induknya, perhatikan rentang posisi terendahnya. Misalnya, dalam 3 tahun terakhir, ASII bergerak di Rp5.000 sampai Rp7.000, berarti kita harus masuk di ASII ketika harga di Rp5.000-an per saham. Alasannya, posisi itu berada sudah di bawahnya dengan potensi upside bisa ke Rp7.000. Jika turun, risiko terendahnya hanya ke Rp4.000. Pasalnya, untuk bisa ke Rp3.000 butuh kejadian luar biasa seperti pandemi Covid-19 atau penurunan kinerja keuangan yang signifikan di perseroan. Poin kedua pun rasa-rasanya sulit terjadi melihat skala bisnis ASII yang sudah cukup solid.
Jika tertarik ke INDF, berarti kita bisa memperhatikan rentang sektiar Rp6.000 sampai Rp8.000 per saham. Jika INDF lagi di Rp6.000 per saham, berarti itu menarik untuk dibeli dengan asumsi potensi penguatan bisa sampai Rp8.000, serta risiko terburuk ke Rp5.000. Dalam kasus INDF, peluang ke Rp4.000 hanya bisa terjadi bila ada kejadian luar biasa juga.
Catatannya, jika mengincar saham induk, jangan sampai masuk di pucuk atau nilai tengah. Misalnya, ASII masuk di Rp6.000 dan Rp7.000 atau INDF di Rp7.000 dan Rp8.000. Alasannya, jika kita tidak masuk di posisi bawah, risiko floating loss sangat tinggi dan berpotensi terjadi dalam jangka menengah panjang.
Dengan masuk di harga bawah, kita bisa mengumpulkan keuntungan dari dividen dengan posisi terjaga di floating profit sehingga bisa santai jika sewaktu-waktu ingin taking profit.
Jika Pilih Anak Emasnya
Berbeda lagi jika ingin memilih anak emasnya, cara untuk beli anak emas dari sebuah induk misalnya UNTR di ASII atau ICBP di INDF, kita perlu menganalisis lebih detail seperti, sektor bisnis, siklus sektor bisnis, berita terkait sektor bisnisnya.
Hal ini dilakukan karena anak usahanya memiliki sektor bisnis yang lebih terkonsetrasi. Misalnya, UNTR cenderung terkait dengan industri batu bara karena memiliki lini bisnis kontraktor dan jasa pertambangan batu bara, hingga penambang batu bara. Meski, UNTR mulai diversifikasi bisnis ke emas, energi baru terbarukan, hingga nikel. Namun, porsi pendapatan batu bara masih besar sehingga sentimen dari sektor itu masih berdampak signifikan.
Begitu juga ICBP, meski consumer goods dikenal sebagai saham defensif, tapi jika beli di harga tinggi ada potensi floating loss berkepanjangan juga. Untuk itu, perlu dilihat bagaimana kondisi daya beli masyarakat, persaingan produk consumer goods, dan sentimen terkait seperti penerapan cukai plastik dan minuman berpemanis. Di sini, kita bisa melihat apakah harga saham ICBP sudah cukup wajar untuk posisi saat ini.
Kalau kamu lebih suka koleksi saham induk usahanya atau anak emasnya?
Mau dapat guideline saham dividen 2024?
Pas banget, Mikirduit baru saja meluncurkan Zinebook #Mikirdividen yang berisi review 20 saham dividen yang cocok untuk investasi jangka panjang lama banget.
Kalau kamu beli #Mikirdividen edisi pertama ini, kamu bisa mendapatkan:
- Update review laporan keuangan hingga full year 2023 dalam bentuk rilis Mikirdividen edisi per kuartalan
- Perencanaan investasi untuk masuk ke saham dividen
- Grup Whatsapp support untuk tanya jawab materi Mikirdividen
- Siap mendapatkan dividen sebelum diumumkan (kami sudah buatkan estimasinya)
Tertarik? langsung saja beli Zinebook #Mikirdividen dengan klik di sini