Saham BBRI, TLKM, ASII masih Turun, Begini Skenario Kebangkitannya
Saham bluechip seperti BBRI, TLKM, dan ASII masih terus berada di level rendah. Kira-kira, apakah ada peluang ketiganya bisa bangkit lagi atau malah menjadi The Next UNVR?
Mikirduit – Saham berstatus blue chip seperti BBRI, TLKM, dan ASII terus berada di level yang rendah sepanjang 2024. Sementara itu, saham-saham dengan fundamental kurang menarik justru bisa meroket. Dengan kondisi ini, bagaimana strategi investasi saham yang tepat?
Sepanjang setahun terakhir hingga 6 Desember 2024, beberapa saham big caps yang berstatus blue chip seperti, BBRI turun 24,72 persen, TLKM turun 30,13 persen, ASII turun 8,85 persen, hingga BBNI turun 9,58 persen.
Sementara itu, saham yang meroket justru rata-rata yang tidak begitu likuid seperti, DSSA naik 368 persen, sedangkan PANI naik 246 persen. Kondisi ini membuat ada dua sudut pandang.
Pertama, jika ingin memanfaatkan momentum berarti kamu harus cari saham yang kurang likuid tapi ada potensi kenaikan tinggi.
Kedua, kamu bisa borong saham bluechip yang lagi murah karena momen seperti saat ini belum tentu akan terjadi lagi.
Kami menilai opsi kedua yang lebih menarik karena sekarang jadi waktu untuk akumulasi saham-saham bluechip yang sudah murah. Asumsi murah dan menarik dibeli ini antara lain, secara kinerja masih punya ruang pertumbuhan signifikan, serta tidak ada masalah terhadap kinerja perseroan di masa lalu yang bisa berdampak di masa depan.
Tapi, apakah benar saham-saham big caps yang lagi turun dalam itu bisa bangkit?
Memahami Faktor Penurunan Beberapa Saham Blue Chip
Salah satu tantangan pasar saham adalah ketika tingkat suku bunga bank sentral berada di level tinggi. Hal itu membuat ekspektasi pertumbuhan ekonomi lebih lemah karena pertumbuhan peredaran uang di masyarakat melambat.
Alhasil, daya beli masyarakat melambat dan kinerja bisnis juga kurang oke. Hal ini berdampak terhadap kinerja keuangan masing-masing emiten yang bakal lebih lambat. Hasilnya, beberapa investor asing bakal lebih berhati-hati untuk masuk di pasar saham Indonesia. Jika sudah masuk, mereka juga mulai melakukan aksi profit taking sehingga kondisi pasar menjadi cukup tertekan.
Ketika investor asing keluar atau mencatatkan net sell asing, saham yang paling terdampak adalah bluechip. Untuk itu, asing juga akan memilah-milih saham-saham yang terkena dampak paling kecil dan kondisi kinerja keuangan yang lebih baik untuk di-hold, sedangkan yang dianggap terkena dampak kebijakan suku bunga lebih tinggi, serta kondisinya tidak begitu baik akan dilepas.
Sepanjang 2024 hingga 6 Desember 2024, tingkat net sell asing di pasar reguler mencapai Rp22,35 triliun. Dalam 20 hari terkahir, saham BBRI mencatatkan net sell asing senilai Rp7,3 triliun, disusul BBCA senilai Rp2,9 triliun, dan BMRI senilai Rp1,6 triliun.
Di sisi lain, tren suku bunga bank sentral mulai diturunkan. Harapannya, penurunan suku bunga ini bisa mempercepat roda ekonomi, meski dampak antara penurunan suku bunga bank sentral ke sektor riil disebut ada periode lagging 3-6 bulan, bahkan 12 bulan.
Dengan beberapa catatan ini, kami menilai pasar saham tengah menuju level terburuknya terlebih dulu sebelum kembali bangkit. Namun, kebangkitan bisa terjadi di 2025 atau 2026.
Apakah Saham Blue Chip Bisa Bangkit Lagi?
UNVR sering dijadikan contoh kasus saham bluechip yang dianggap tidak bisa bangkit lagi. Begitu juga dengan HMSP, GGRM, INTP, SMGR, hingga PGAS. Sebenarnya, ada perbedaan signifikan antara penurunan harga saham yang dialami oleh ASII, TLKM, BBRI, dan BBNI dengan deretan saham UNVR dkk.
Perbedaan signifikannya adalah saham-saham yang dulunya blue chip mengalami penurunan harga saham secara signifikan dan tampaknya sulit bangkit karena ada beberapa faktor internal.
Misalnya, UNVR mengalami penurunan harga saham dari setelah stock split sekitar Rp8.000-an per saham, kini sudah berada di bawah Rp2.000-an per saham. Penyebab utamanya adalah secara kinerja keuangan, pertumbuhan bisnis UNVR sudah stagnan di 2016-2017. Untuk itu, perseroan melepas beberapa unit bisnis dari Blue Band dkk, Bisnis teh di luar Indonesia dan India, serta bisnis es krim. Namun, hasilnya masih nihil.
Di sisi lain, UNVR tidak bisa mencari pasar ekspor karena di negara lain sudah ada Unilever lainnya. Lalu, mendorong tingkat margin keuntungan juga cukup sulit, mengingat UNVR punya biaya lisensi dan sebagainya terkait produk senilai Rp2 triliun - Rp3 triliun per tahun sesuai dengan kinerja pendapatan.
Hasilnya, tren kinerja UNVR terus melambat, dan beberapa kali mencatatkan penurunan signifikan.
Kasus HMSP dan GGRM lebih berbeda lagi. Kasus keduanya bukan terkait internal perusahaan, melainkan efek dari regulasi pemerintah terkait cukai rokok. Hal itu membuat tren kinerja HMSP dkk juga merosot signifikan.
Meski, pemerintah telah menetapkan tidak ada kenaikan cukai di 2025, tapi risiko berganti rokok dari merek yang lebih mahal ke produk yang lebih murah bisa jadi tantangan dalam jangka menengah pendek. Dengan tren kinerja terus turun, harga saham rokok ini juga terus turun. Bahkan, beberapa menyebutkan bisnis rokok tersebut sudah sunset atau berisiko tidak berkembang.
Terakhir, dalam kasus SMGR dan INTP, yang mengalami penurunan karena faktor sektoral. Jadi, kondisi industri semen saat ini masih mengalami oversupply yang rata-ratanya bisa tembus 50 juta ton per tahun. Sementara itu, penyerapan IKN hanya 1 juta ton per tahun.
Hal itu membuat kinerja SMGR dan INTP mengalami penurunan dari segi laba sejak beberapa tahun terakhir. Hal itu juga berefek terhadap penurunan harga saham perseroan, termasuk tekanan jual sepanjang 2024 yang cukup tinggi.
Sementara itu, PGAS yang sempat menduduki 10 big caps juga terus mengalami penurunan harga setelah sempat menyentuh level Rp6.000-an per saham pada 2013-2014. Tapi, kini harga PGAS turun signifikan di Rp1.600-an per saham.
Kami belum mendeteksi penyebabnya lebih detail, tetapi ada penurunan net profit margin yang sangat signifikan setelah mencapai level tertinggi di 2012. Bahkan, hal itu juga mempengaruhi kinerja laba bersih PGAS yang terus turun drastis setelah 2014.
Adapun, net profit margin PGAS di periode 2009-2012 itu mencapai di atas 30 persen, sedangkan setelahnya terus menyusut. Lalu, dari segi laba bersih, PGAS mencatatkan laba bersih tertinggi pada 2014 senilai Rp10,49 triliun, tapi setelah itu menyusut.
Per kuartal III/2024, net profit margin PGAS hanya tersisa 7,43 persen, sedangkan laba bersih twelve trailing month (TTM) senilai Rp5,2 triliun.
Kondisi itu berbeda dengan yang dialami oleh BBRI, BBNI, ASII, dan TLKM. BBRI dan BBNI menjadi salah satu emiten bank besar yang terdampak oleh kebijakan suku bunga tinggi. BBRI terdampak dari segi segmen bisnis UMKM sehingga biaya dana meningkat drastis, sedangkan penyaluran kredit berkualitas cukup sulit serta kredit bermasalah berpotensi naik terutama setelah insentif restrukturisasi kredit Covid-19 UMKM selesai pada Maret 2024.
Sementara itu, BBNI menjadi bank besar yang skalanya paling kecil dan punya gap tinggi dibandingkan dengan BBRI, BMRI, dan BBCA sehingga sensitivitasnya terhadap suku bunga cukup tinggi dibandingkan dengan tiga big bank lainnya.
Dari sini, emiten seperti BBRI dan BBNI bisa terdampak positif dari perubahan kebijakan suku bunga yang mulai lebih longgar. Dengan begitu, biaya dana lebih murah dan harapannya perbaikan ekonomi setelah suku bunga rendah membuat penyaluran kredit ke debitur berkualitas bisa lebih agresif.
Lalu, ASII dan TLKM sering ditakutkan menjadi The Next UNVR karena penurunan harga saham pada 2024 diiringi dengan fear seperti, ASII bisa terdisrupsi dengan BYD, sedangkan TLKM terdisrupsi dengan Starlink.
Masalahnya, fear itu sifatnya cuma spekulatif karena ASII bukan cuma bicara segmen otomotif dan BYD tidak bisa mendisrupsi market Indonesia secepat itu. Pasalnya, pertumbuhan pasar mobil listrik di Indonesia sangat rendah, sehingga BYD pun mencoba masuk ke bisnis mobil Hybrid untuk menyesuaikan dengan kebutuhan market.
Sementara itu, ancaman Starlink kepada emiten telekomunikasi juga cuma asumsi tanpa dasar karena Starlink bukanlah perusahaan telekomunikasi yang mengelola dari hulu ke hilir. Starlink adalah perusahaan telekomunikasi yang menjadi pelengkap dari kebutuhan yang sangat niche, yakni kebutuhan internet di daerah terpencil yang tidak dapat akses BTS.
Bahkan, layanan direct to cell-nya juga membutuhkan kolaborasi dengan operator seluler setempat untuk membuat paket anti mati sinyal saat masuk wilayah yang tidak ada jaringan.
Dengan fakta itu, kami masih yakin, untuk TLKM dan ASII masih bisa bangkit jika data-data ekonomi Indonesia sudah positif dan investor asing akan kembali masuk ke Indonesia dengan prospek lebih oke dan harga lebih murah.
Kesimpulan
Jadi, apakah 2025 menjadi tahunnya bullish? kami menilai potensi bullish bisa terasa mulai di semester II/2025 dan 2026 jika tren penurunan suku bunga tidak ada perlambatan. Namun, jika penurunan suku bunga lebih lambat dari ekspektasi, seperti di 2025 hanya ada 2 kali penurunan, berarti potensi bullish di pasar saham akan bergeser ke tahun selanjutnya.
Selain masalah suku bunga, bullishnya pasar saham di Indonesia juga akan bergantung seberapa cepat ekonomi China pulih. Jika ekonomi China pulih lebih cepat, hal itu bisa membantu pertumbuhan bisnis terkait komoditas dan bisa jadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Jadi, apa yang harus dilakukan saat ini? kami menilai kamu bisa masuk dengan plan investasi 1-3 tahun di saham-saham yang sudah murah seperti BBRI, TLKM, ASII, dan BBNI. Detail saham murah bisa kamu dapatkan dengan bergabung ke member MIkirdividen.
LAST CALL PROMO JOIN MIKIRDIVIDEN CUMA RP400.000 PER TAHUN SAMPAI 31 DESEMBER 2024
Jika kamu ingin tahu atau mau langsung gabung ke Mikirdividen, kamu bisa klik di sini . Ada promo spesial diskon langsung Rp200.000 untuk langganan setahun! CUMA SAMPAI 31 Desember 2024 dan Kuota terbatas!
Jika ingin langsung transaksi bisa klik di sini
Langganan Sekarang dan dapatkan Fix Rate perpanjangan seperti harga pembelian pertama selama dua tahun ke depan.
Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini