Saham BREN Jadi yang Terbesar, Dejavu dengan BUMI?
Saham BREN resmi menjadi saham dengan market cap terbesar di BEI setelah menggeser BBCA per 8 Desember 2023. Namun, kok jadi dejavu dengan BUMI?
Mikirduit – Sejarah tercipta, kini saham BREN menjadi saham dengan kapitalisasi pasar nomor satu di BEI melampaui BBCA. Namun, pencapaian BREN dalam waktu singkat ini juga memperoleh banyak pertanyaannya dan juga dejavu dengan saham BUMI. Ada apa dengan saham BUMI? simak cerita lengkapnya di notasi kali ini.
Yaps, nama Bakrie pernah sangat tenar hingga ke seantero Asia, dia memiliki bisnis tambang batu bara terbesar di Indonesia, yakni PT Bumi Resources Tbk. (BUMI). Bahkan, saham BUMI sempat di harga Rp8.000 per saham dan menjadi saham dengan kapitalisasi pasar terbesar di Indonesia. Saham BUMI pun menjadi saham sejuta umat, begitu juga saham Bakrie lainnya mulai dari BNBR, UNSP, BTEL, ELTY, dan lainnya.
Lalu, apa yang terjadi dengan saham Bakrie setelah 2008 hingga membuatnya kini tenggelam? apakah booming saham Prajogo bisa mengalami hal serupa?
Cerita BUMI Sebelum Booming 2008
Bicara Grup Bakrie dan BUMI ini bisa bilang cukup rumit. BUMI sendiri awalnya adalah perusahaan perhotelan milik AJB Bumiputera. Salah satu hotel milik BUMI adalah Hotel Hyatt Bumi Surabaya.
Setelah IPO, ternyata bisnis perhotelan dan perkantoran BUMI tidak berhasil. Akhirnya Bakrie datang sebagai penyelamat mengakuisisi saham tersebut dan menjadikannya saham energi.
Awalnya, Bakrie berniat menjadikan BUMI saham migas dengan mengakuisisi Gallo Oil dari Long Haul dan Minarak Labuan. Gallo Oil sendiri memiliki wilayah kerja migas.Sayangnya bisnis migas BUMI gagal hanya sampai tahap eksplorasi. Akhirnya BUMI pun melepas Gallo Oil pada 2017 tanpa mendapatkan sepeser pun omzet dari sana.
Namun, Bakrie menyiapkan plan B secepat kilat setelah akuisisi Gallo Oil. Mereka juga menyiapkan BUMI menjadi saham batu bara terbesar di Indonesia.
Di sini, BUMI mengakuisisi Arutmin dan PT Kaltim Prima Coal. Hal itu membuat BUMI menjadi saham batu bara terbesar.
Di sisi lain, laju ekspansi Grup Bakrie itu dilakukan dengan menggunakan utang. Hingga membuat utang grup Bakrie menggunung sehingga harus melepas sebagian saham BUMI untuk menyelesaikan utang-utangnya.
Hingga, BUMI sempat dilepas ke Tata Power Co., perusahaan asal India, yang berani menawar harga paling tinggi senilai Rp14,7 triliun. Padahal, Mitsubishi Jepang hanya mau menawarkan Rp12,14 triliun.
Setelah mendapatkan dana segar dari hasil divestasi, rasio utang BUMI pun membaik dari 500 persen dari ekuitas menjadi tinggal 10,52 persen.
Petaka Setelah Menjadi Anak Usaha BNBR
Setelah berada di tangan Bakrie Capital dan mengakuisisi Gallo Oil, pemegang saham BUMI sempat berubah menjadi Long Haul dan Minarak Labuan. Di mana, keduanya adalah entitas terafiliasi Grup Bakrie juga.
Namun, komposisi pemegang saham BUMI berubah pada 2006. Saat itu, BUMI menjadi anak usaha dari PT Bakrie & Brothers Tbk. (BNBR). Dengan dibawah BNBR, sempat muncul ide untuk dimerger dengan PT Energi Mega Persada Tbk. (ENRG). Setelah merger, nantinya perusahaan BUMI-ENRG akan lebih fokus untuk ke bisnis migas.
Sayangnya, petaka terjadi, yakni kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo pada 2006. Lapindo Brantas, perusahaan migas yang melakukan pengeboran di daerah tersebut adalah anak usaha ENRG. Rencana merger BUMI dan ENRG pun batal karena divestasi Lapindo Brantas Inc. yang bermasalah.
Namun, petaka besar untuk BUMI bukan gagal dimerger dengan ENRG melainkan kisah selanjutnya di 2008.
Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar BIasa (RUPSLB) BNBR pada 17 Maret 2008, pemegang saham setuju aksi akuisisi internal di 3 anak usahanya senilai Rp48,44 triliun. Dengan beberapa agenda lainnya, total dana yang dibutuhkan BNBR sekitar Rp51,3 triliun.
Sebagian dana yang dibutuhkan itu didapatkan dari right issue senilai Rp40,11 triliun pada April 2008. Nantinya, kekurangan dana sekitar Rp10 triliun akan didapatkan dari Odickson Finance dengan jatuh tempo pada April 2009.
Ternyata, maksud mendapatkan dana Rp10 triliun dari Odickson Finance itu adalah dengan menggadaikan 3,73 miliar lembar saham BUMI, 4,76 miliar saham ENRG, dan 3,79 miliar saham ELTY. Transaksi gadai pun terjadi pada 21 April 2008.
Waktu itu masalah gadai saham perusahaan Bakrie belum jadi masalah karena pergerakan harganya masih oke. Terkhusus BUMI, kinerjanya pada 2007-2008 itu juga lagi oke banget. Laba bersih BUMI sempat naik 103 persen menjadi 645 juta dolar AS. Arus kas operasional BUMI pada 2008 juga cukup tebal hingga 959 juta dolar AS lebih tinggi daripada 2007 yang sebesar 189,95 juta dolar AS.
Keberhasilan gadai saham di Odickson Finance membuat BNBR jadi ketagihan gadai saham BUMI ke pihak lain. Pada Juli 2008, BNBR gadai saham BUMI sebanyak 581 juta lembar ke JP Morgan dan 697 juta lembar ke ICICI. Dari situ, BNBR mendapatkan dana segar 300 juta dolar AS untuk bayar utang.
Masih di bulan yang sama pada 2008, BNBR makin ketagihan gadai saham BUMI. Kali ini, 3,52 juta saham BUMI digadaikan kepada PT Sucorinvest Gani senilai Rp15 miliar. Waktu itu, pembayaran repo saham BUMI oleh BNBR masih lancar.
Masalah muncul ketika aksi gadai saham BUMI terus dilakukan, kali ini kepada PT PNM Investments Management sebanyak 59 juta lembar saham untuk dana segar Rp231 miliar pada medio Juli-Agustus 2008.
Lalu, di waktu yang hampir bersamaan pada Juli-Oktober 2008, BNBR menggadaikan 45 juta saham BUMI dan 116 juta saham UNSP senilai Rp189 miliar kepada PT Recapital Securities. Hingga BNBR kehabisan saham BUMI yang bisa digadaikan lagi, mereka pun lanjut menggadaikan saham UNSP untuk mendapatkan dana segar.
Secara keseluruhan, BNBR melakukan gadai saham BUMI sebanyak 5,12 miliar lembar, ENRG sebanyak 4,76 miliar lembar, ELTH sebanyak 3,79 miliar lembar, dan UNSP sebanyak 394 juta lembar.
Masalahnya lagi, ternyata aksi repo saham BUMI bukan cuma dilakukan BNBR. Jadi, ada beberapa pihak afiliasi Grup Bakrie non-listing di BEI yang melakukan transaksi repo saham BUMI tanpa melewati BNBR dengan total dana sekitar Rp6,3 triliun.
Ditambah, jika Bakrie menjual 35 persen saham BUMI pun tidak akan mampu melunasi seluruh utang reponya senilai Rp19 triliun. Untuk itu, beberapa investor yang bertransaksi repo tanpa melalui BNBR minta prioritas dibayarkan. Total repo tanpa melalui BNBR itu senilai Rp6,3 triliun.
Masalahnya lagi, pemegang repo saham BUMI bukan cuma institusi, tapi juga investor ritel yang ditawari oleh broker-brokernya. Hal itu pula yang meningkatkan jumlah pemegang saham publik di BUMI menjadi cukup besar.
BUMI dan Bakrie Hancur Karena REPO?
Kerumitan permasalahan utang BUMI dan Grup Bakrie di 2008, serta momen yang pas dengan krisis keuangan di Amerika Serikat (AS) membuat kehancuran saham Bakrie bak misteri.
Bahkan, ketika saham Bakrie, termasuk BUMI disuspensi muncul narasi itu permintaan Aburizal Bakrie karena posisi politiknya masih kuat saat itu. Meski, suspensi dilakukan karena saham BUMI terus turun dari level Rp8.000 per saham hingga tembus Rp1.000-an per saham. Para pemegang repo, terutama yang ritel pun was-was.
Dari penelusuran kami, para pemegang repo biasanya tetap menahan sampai ada kesepakatan masalah uang pinjaman yang didapatkan. Pasalnya, jika dijual paksa agunan saham yang sudah rendah, para kreditur bakal rugi parah.
Namun, ada beberapa pihak yang mengetahui permasalahan itu sehingga memilih melakukan aksi jual yang membuat panik pasar.
Pertanyaannya, apakah booming saham Prajogo Pangestu bisa bernasib sama seperti Bakrie?
Prospek Saham Prajogo
Jika melihat gaya berbisnisnya, Prajogo seharusnya agak berbeda dengan Bakrie. Karakter Bakrie ini berani mengambil utang untuk bisa ekspansi lebih cepat. Di sisi lain, jika melihat kinerja dua emiten holding Prajogo di BEI, yakni BRPT dan CUAN tingkat utangnya masih ter-manage-able.
Pertama, BRPT yang membawahi TPIA dan BREN memang memiliki tingkat utang berbunga sebesar Rp66 triliun. Jika dihitung dengan ekuitasnya senilai Rp25 triliun, tingkat debt to equity ratio BRPT sebesar 2,67 kali. Memang besar, tapi mayoritas hampir 90 persen utang berbunga BRPT masih dalam bentuk jangka panjang, tercatat utang berbunga jangka pendek hanya sekitar Rp1 triliun.
Kedua, CUAN yang lagi agresif akuisisi perusahaan dalam laporan keuangan hingga kuartal III/2023 tidak memiliki utang berbunga.
Namun, bicara risiko transaksi repo, kita hanya bisa memantau dari tingkat utang yang dimiliki. Apakah, dengan utang yang segitu, membuat sang pemegang saham butuh gadai saham untuk bayar utangnya?
Meski begitu, kita perlu pantau dan untuk kamu yang belum sempat masuk ke saham BREN dan afiliasi Prajogo lainnya yang sudah melejit juga lebih baik tahan diri. Soalnya, kenaikan harga saham sudah terlalu cepat dalam beberapa bulan terakhir. Artinya, tingkat potensi risiko juga sudah sangat besar.
Kalau menurutmu, bagaimana prospek saham Prajogo setelah jadi primadona sepanjang 2023? apakah 2024 bakal jadi loyo atau auto tidak likuid?
Mau dapat guideline saham dividen 2024? - Diskon Langsung Rp100.000
Pas banget, Mikirduit baru saja meluncurkan Zinebook #Mikirdividen yang berisi review 20 saham dividen yang cocok untuk investasi jangka panjang lama banget.
Kalau kamu beli #Mikirdividen edisi pertama ini, kamu bisa mendapatkan:
- Update review laporan keuangan hingga full year 2023 dalam bentuk rilis Mikirdividen edisi per kuartalan
- Informasi posisi harga saham dividen sudah murah atau mahal
- Perencanaan investasi dari alokasi modal dan toleransi risiko untuk masuk ke saham dividen
- Grup Whatsapp support untuk tanya jawab materi Mikirdividen
- Siap mendapatkan dividen sebelum diumumkan (kami sudah buatkan estimasinya)
Yuk langsung join Mikirdividen DISKON LANGSUNG Rp100.000 klik di sini ya
Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini
Referensi
- Detik.com, 23 Oktober 2008, Kisah Kisruh Repo Grup Bakrie
- Detik.com, 7 November 2008 ,Pemegang Repo Saham BUMI Minta Prioritias Pelunasan
- Detik.com, 8 Januari 2009 ,Repo Saham BUMI Libatkan 7 Broker
- Detik.com, 11 November 2008, Kenapa Investor Mau Jual Rugi Saham BUMI