Tanda Red Flag Saham CPO, Take Profit atau Masih Bisa Naik?
Harga CPO terus naik mendekati level tertinggi di Juni 2022 yang tembus di 5.200-an ringgit per ton. Apakah ini tanda positif atau cenderung negatif untuk saham CPO?
Mikirduit – Harga CPO mencatatkan kenaikan yang mendekati level tertinggi per Juni 2022, yakni tembus 5.038 ringgit per ton pada 8 November 2024. Apakah ini menjadi pertanda bagus atau buruk bagi saham sektor CPO?
Dikutip dari Reuters, salah satu pendorong harga CPO adalah pasokan CPO di Malaysia yang terus turun karena penurunan produksi, sedangkan ekspor mencatatkan kenaikan.
Penentuan kelanjutan harga CPO akan ditentukan dari rilis data CPO dari Dewan Minyak Sawit Malaysia pada 11 November 2024 nanti.
Ekspektasinya, pasokan minyak sawit di Malaysia berpotensi turun 4,64 persen menjadi 1,92 juta ton. Hal itu disebabkan penurunan produksi yang diperkirakan sebesar 3,2 persen menjadi 1,76 juta metrik ton.
Sementara itu, ekspor diperkirakan naik menjadi 5,64 persen menjadi 1,63 juta ton. Jika ekspor CPO Malaysia di Oktober itu naik, berarti menjadi kenaikan bulanan kedua secara berturut-turut.
Secara umum, pada periode akhir tahun memang menjadi siklus penurunan produksi CPO sehingga ada potensi kenaikan harga jika didorong kenaikan permintaan beli, terutama dari pasar ekspor.
Tapi, apakah ini menjadi sinyal positif untuk emiten CPO di Indonesia?
Jawabannya bisa menjadi dua sisi juga. Jika produksi CPO lagi meningkat, emiten sawit di Indonesia bisa mendapatkan keuntungan dari penjualan produk lebih banyak dengan harga yang lebih baik. Sebaliknya, jika malah terjadi penurunan produksi, berarti kenaikan kinerja bisa jadi hanya sementara.
Selain itu, CPO menjadi salah satu produk komoditas yang punya banyak subtitusinya. Sehingga, ketika harga CPO naik terlalu tinggi, ada risiko permintaan bisa mengalami penurunan karena adanya peralihan ke produk minyak nabati lainnya.
Saat ini, harga CPO sudah lebih mahal dibandingkan dengan produk subtitusi terdekatnya, yakni minyak kedelai. Jika dikonversi menjadi dolar AS dengan satuan ton, harga CPO per 8 November 2024 senilai 1.145 dolar AS per ton, sedangkan harga minyak kedelai senilai 1.075 dolar AS per ton.
Jadi, bagaimana efeknya ke saham CPO di Indonesia?
Efek Kenaikan Harga CPO ke Kinerja Emiten di Indonesia
Sepanjang 2024, harga CPO di Indonesia bisa dibilang berada di area harga yang cukup tinggi dibandingkan dengan 2023. Namun, jika dilihat, kinerja pertumbuhan pendapatan saham CPO di Indonesia tidak terlalu signifikan.
Misalnya, dari 4 saham CPO terbesar yang kami analisis ada LSIP, TAPG, DSNG, dan AALI, keempatnya mencatatkan kenaikan pendapatan di bawah 10 persen.
Tercatat, DSNG menjadi emiten CPO dengan pertumbuhan pendapatan terbesar sepanjang kuartal III/2024 sebesar 9,26 persen. Sementara itu, AALI menjadi yang terbesar kedua, yakni 3,86 persen, serta TAPG terbesar ketiga sebesar 3,37 persen. Terakhir, LSIP menjadi yang paling bontot dengan kenaikan sebesar 0,05 persen.
Kenapa pendapatan emiten CPO di Indonesia cenderung tumbuh moderat saat harga sawit tinggi-tingginya?
Jawabannya, saat harga CPO naik, produksi-nya justru mengalami penurunan.
Dari dua sampel saham CPO, yakni LSIP dan DSNG, keduanya mencatatkan penurunan. LSIP mencatatkan penurunan produksi CPO sebesar 10 persen menjadi 194.000 metrik ton, dan tandan buah segar (TBS) turun 10 persen menjadi 914.000 ton.
Begitu juga dengan DSNG yang mencatatkan penurunan produksi CPO sebesar 7 persen menjadi 473.923 ton, sedangkan produksi tandan buah segar turun 5,1 persen menjadi 1,63 juta ton.
Dari keterangan DSNG, penurunan produksi itu ada kaitannya dengan efek El Nino sejak akhir 2023 hingga awal 2024 yang membuat produksi menjadi lebih rendah sejak Mei 2024. Padahal, di saat yang sama, sejak Mei - September 2024, harga rata-rata penjualan CPO DSNG naik sebesar 14 persen menjadi Rp12,96 juta per ton.
Penyelamat kinerja emiten CPO di Indonesia justru didorong biaya beban pokok pendapatan dan operasional yang lebih rendah, terutama terkait harga pupuk. Hal itu membuat tiga emiten CPO, yakni LSIP, TAPG, dan DSNG mencatatkan kenaikan margin keuntungan sehingga laba bersih keempatnya meroket.
LSIP mencatatkan pertumbuhan laba bersih terbesar, yakni 75,56 persen menjadi Rp803 miliar, DSNG menjadi yang kedua setelah laba bersih naik 71,21 persen menjadi Rp860 miliar, serta TAPG yang ketiga setelah mencatatkan kenaikan sebesar 46,58 persen menjadi Rp1,61 triliun.
Di sisi lain, AALI menjadi emiten CPO yang mencatatkan kenaikan laba bersih paling moderat, yakni hanya 0,07 persen menjadi Rp801,15 miliar sepanjang kuartal III/2024.
Hal tersebut disebabkan oleh kenaikan beban pokok pendapatan tembus 4 persen (di atas pertumbuhan pendapatan), yang dipicu oleh kenaikan beban persediaan barang jadi. Sehingga gross profit margin AALI turun menjadi 12,32 persen dibandingkan dengan 12,43 persen.
Lalu, beban operasional AALI juga naik 5,49 persen menjadi Rp865 miliar. Sehingga laba bersih AALI menjadi cenderung stagnan.
Kesimpulan
Kami menilai posisi harga CPO yang cukup tinggi saat ini bisa menjadi pertanda posisi harga saham sawit sudah agak di pucuk. Sehingga lebih baik berhati-hati jika ingin mengejar harga dengan rencana jangka panjang. Kecuali, jika ingin memanfaatkan fluktuasi jangka pendek, seperti mengambil momentum rilis data ekspor dan produksi CPO Malaysia yang diharapkan bisa mempengaruhi harga CPO ke depannya.
Jika menggunakan perhitungan PBV Justified, saham TAPG berada di posisi termahal dengan harga wajar di Rp812 per saham. Jika dihitung, posisi wajar sudah lebih rendah 10,26 persen dari harga pasar per 8 November 2024.
Saham CPO yang tidak begitu mahal ada di DSNG dengan asumsi wajar Rp1.179 per saham. Harga saham di pasar per 8 November 2024 baru lebih tinggi dari 2,96 persen dari asumsi wajar. Namun, tetap saja, harga itu bukan yang terbaik mengingat masih ada risiko ke depannya.
Salah satu risiko terbesar CPO nantinya adalah La Nina. Jika La Nina bisa terjadi cukup besar, hal itu bisa membuat produksi CPO mengalami penurunan. Jadi, kenaikan harga pun tidak begitu berarti jika produksi malah mengalami penurunan karena kebun banjir hingga proses pemanenan yang terhambat hujan deras.
Menurut kami, yang sudah punya saham CPO di harga bawah bisa jadikan momen ini untuk take profit. Tapi, jika hold jangka panjang juga tidak masalah asal posisi average price-nya memang sangat bagus.
Kalau kamu pilih kejar saham CPO atau wait and see duu aja?
Yuk Join Grup Mikirdividen untuk Dapat Pilihan Saham Investasi Jangka Panjang Serta Diskusi dan Update Saham Eksklusif Bersama Ratusan Investor Saham Lainnya
Jika kamu ingin tahu atau mau langsung gabung ke Mikirdividen, kamu bisa klik di sini . Ada promo spesial diskon langsung Rp200.000 untuk langganan setahun! CUMA SAMPAI 31 Desember 2024 dan Kuota terbatas!
Langganan Sekarang dan dapatkan Fix Rate perpanjangan seperti harga pembelian pertama selama dua tahun ke depan.
Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini
Referensi
- Reuters, 5 November 2024, Malaysias End October Palm Oil Stocks Fall Lower Output Higher Export