The Fed Nekat Naikin Suku Bunga, Dejavu 1980-an?

Sebenarnya sesuai prediksi banyak ekonom, The Fed bakal naikin suku bunga 25 bps dengan fokus inflasi. Wah, gimana nasib ekonomi AS dan efeknya ke kita ya?

The Fed Nekat Naikin Suku Bunga, Dejavu 1980-an?

Mikir Duit – Bank sentral Amerika Serikat Federal Reserve masih berkukuh menaikkan suku bunga 25 bps menjadi 5 persen. Posisi suku bunga itu menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah Amerika Serikat (AS) sejak 2007 atau sebelum periode krisis 2008. Aksi nekat The Fed, sebutan bank sentral Amerika, mengingatkan juga kejadian 1980-an. Apa itu?

Double dip recession, ya itu salah satu periode resesi hebat yang terjadi sejak masa The Great Depression di AS pada 1930-an. Namun, resesi hebat pada 1980-an itu pun tak menjadi lebih hebat setelah sistem keuangan AS berantakan pada 2008. Meski begitu, ada beberapa hal yang menarik antara resesi 1980-an dengan kondisi saat ini.

BACA JUGA: Investasi Obligasi Bisa Bikin Kaya Nggak Ya? Baca Penjelasannya di Sini

Kronologi Awal Resesi 1980-an

Kronologi awal Double dip recession pada 1980-an terjadi ketika Presiden Amerika Serikat di periode 1970-an Richard Nixon membuat dekrit yang isinya Negeri Paman Sam tidak akan mengizinkan dolar AS dijamin oleh emas alias Gold Standard. Sebelumnya, bank sentral menerbitkan dolar AS dengan jaminan emas.

Keputusan Nixon itu membuat The Fed bisa menerbitkan banyak uang tanpa batas karena tidak perlu menyiapkan jaminan sebesar emas. Hal itu pula yang memicu terjadinya stagflasi, yakni pertumbuhan inflasi tinggi, tapi ekonominya stagnan.

Kenapa begitu? karena peredaran uang yang terlalu banyak membuat inflasi naik tanpa diimbangi oleh kualitas permintaan dan penawaran secara ekonomi di sektor riil. Jadi, harga barang naik, tapi upah masyarakat dan kinerja bisnis tidak tumbuh setinggi inflasi.

Kisah berlanjut ke 1979, ketika Presiden AS saat itu, yakni Jimmy Carter, menujuk Paul Volker sebagai Gubernur The Fed. Misi utama yang diberikan kepada Volker adalah menurunkan inflasi.

Dengan misi menurunkan inflasi, sudah tahu dong arahnya akan gimana? ya, Volker siap melejitkan suku bunga The Fed ke level tinggi demi meredam inflasi, bahkan langkah pertamanya membawa Fed Fund Rate (suku bunga the Fed) tembus 20 persen.

Langkah Volker menaikkan suku bunga jelas untuk menurunkan inflasi dengan imbas tingkat pengangguran menjadi tinggi, yakni kenaikanya sebesar 7,5 persen saat itu.

Kenapa tingkat pengangguran jadi tinggi? karena supply uang di AS langsung dibatasi. Banyak pemain besar lebih pilih menyimpan uangnya terlebih dulu daripada nekat ekspansi bisnis. Alasannya, suku bunga naik, berarti ekonomi tidak akan tumbuh kencang. Jadi, banyak yang memperketat ikat pinggang, sehingga terjadi banyak pemutusan hubungan kerja (PHK).

Setelah pengangguran tinggi, apakah inflasi turun? ya, inflasi mereda diikuti dengan penurunan ekonomi selama satu kuartal di kuartal II/1980 sebesar 8 persen.

Namun, setelah itu ekonomi memang kembali bergairah dengan cepat. Buktinya, kuartal III/1980, ekonomi AS tumbuh hampir 8 persen. Lalu, kenapa ekonomi AS bisa menjadi resesi besar di 1982?

Kebijakan Bank Sentral Stop and Go

Dalam istilah makro ekonomi, ada yang disebut Kurva Phillips, yakni kurva yang menggambarkan hubungan berlawanan antara inflasi dengan pengangguran. Jadi, ketika ekonomi tumbuh dan pengangguran berkurang, berarti inflasi akan menjadi tinggi. Namun, ketika inflasi terlalu tinggi, pengangguran justru meningkat seiring dengan penurunan ekonomi.

Sebenarnya, teori ini sudah terbantahkan ketika ekonomi AS mengalami stagflasi pada 1970-an. Namun, kembali mencuat pada 1980-an setelah The Fed menggunakan kebijakan moneter Stop and Go yang mengikuti pola dari Kurva Phillips tersebut.

Jadi, kebijakan moneter Stop and Go, yakni kebijakan yang terus berganti antara menekan inflasi dan meredam tingkat pengangguran.

Kenapa namanya Stop and Go? karena ketika memerangi inflasi, berarti The Fed menaikkan tingkat suku bunga. Berarti, The Fed menarik rem untuk menahan laju pertumbuhan ekonomi. Namun, ketika pengangguran naik, mau tidak mau The Fed kembali menurunkan suku bunga alias nge-gas lagi untuk merangsang pertumbuhan ekonomi.

Nah, sejak periode 1980-an hingga resesi besar di 1982 itulah The Fed terus menaikan dan menurunkan suku bunga karena terus berganti arah dari memerangi inflasi menuju mengurangi pengangguran.

Untuk itu, jika kita lihat pertumbuhan ekonomi AS selama 1980-1982 cukup fluktuatif dengan dua kali mencatatkan negatif di satu kuarta saja pada 1980 dan 1981, sampai puncaknya terjadi resesi di 1982. Dengan kondisi beberapa kali ekonomi mengalami penurunan hingga akhirnya resesi itulah disebut double dip recession.

Kesimpulan

Saat melakukan kebijakan moneter Stop and Go itu, Volker selaku bos The Fed banjir kritikan. Meski, di akhir setelah 1982, Volker dianggap sukses membawa ekonomi kembali stabil. Bahkan, era setelah resesi 1982 disebut The Great Moderation karena tingkat pengangguran dan inflasi sama-sama rendah.

Namun, apakah itu bisa terulang di 2023 saat ini? mungkin tidak terulang setajam periode resesi 1982. Alasannya, ekonomi AS masih cukup kuat karena secara angka-angka tingkat pengangguran masih cukup rendah.

Masalahnya, lebih kepada apakah kenaikan suku bunga yang terus berlanjut bisa mempengaruhi sistem perbankan di AS yang lagi kacau? semua fokus kepada hal tersebut. Jika hal itu bisa memicu tingkat pengangguran yang lebih tinggi lagi, bukan tidak mungkin The Fed memasang kebijakan Stop and Go seperti 1980-an hingga ekonomi kembali stabil.

Efeknya ke ekonomi dan pasar saham Indonesia adalah ya tingkat ketidakpastian sangat tinggi. Risiko pasar saham bakal sepi sangat besar sekali. Lalu, fluktuasi kurs rupiah juga akan mempengaruhi tingkat inflasi di domestik.

Semoga saja ekonomi Indonesia tidak terdampak signifikan atas ketidakpastian di Negeri Paman Sam ya.