Valuasi Saham Cuma dengan PBV, Memangnya Valid?
Tulisan ini terinspirasi dari pertanyaan seorang member di Stockbit, apakah cukup cari tahu saham mahal dan murah dari PBV? dan ini jawaban panjangnya.
Mikirduit – Apakah dalam analisis saham yang murah bisa cukup dengan menggunakan price to book value? atau kita perlu menganalisis dengan metode discounted cash flow hingga mencari detail setiap keuangannya agar tahu itu saham yang layak? sebelum itu, mari kita kenalan dengan price to book value terlebih dulu.
Apa itu Price to Book Value?
Price to book value atau PBV adalah rasio yang membandingkan antara posisi harga saham dengan book value atau nilai buku per saham dari sebuah emiten.
Ada 3 cara untuk melihat sebuah PBV bagus atau tidak bagi sebuah emiten.
Pertama, membandingkan posisi PBV saat ini dengan rata-rata 5 tahun terakhirnya. Apakah, posisi saat ini sudah ada di bawah rata-rata 5 tahun atau malah masih di atas. jika di bawah rata-rata historisnya, kita bisa anggap murah, tapi kalau di atas kita anggap mahal.
Kedua, membandingkan posisi PBV dengan sektor saham terkait. Apakah, posisinya paling kecil atau paling besar. Jika paling kecil berarti bisa diasumsikan murah, sedangkan paling besar menjadi mahal. Namun, untuk mengetahui mahal-murahnya tetap perlu menggabungkan historis dan sektoral. Walaupun posisi mahal dan murah yang muncul hanya menggambarkan posisi hari ini bukan di masa depan ya.
Ketiga, membandingkan pergerakan PBV dengan metriks return on equity (ROE). Jika rasio ROE cenderung rendah, sedangkan rasio PBV tinggi, berarti harga saham dianggap mahal. Lalu, jika rasio ROE dan PBV tumbuh selaras berarti dari modal yang ada, emiten itu bisa mengonversinya menjadi keuntungan yang besar. Sehingga, saham yang ROE dan PBV-nya tumbuh selaras itu menjadi pilihan yang menarik.
Jadi, jika ingin menjadikan PBV sebagai tumpuan screeningan saham-mu, perlu juga wajib lihat kondisi kesehatan dan fundamental keuangannya. Sehingga, ketika ada bias dari data PBV, kita tetap aman karena fundamental dan kesehatan keuangan emiten bagus.
BACA JUGA: Update, 5 Saham Termurah di Indonesia dengan PBV Terendah
Perdebatan Soal PBV
Rasio price to book value ini dibuat dari beberapa komponen. Pertama harga saham dan kedua adalah nilai buku per saham. Di mana, angka nilai buku per saham diambil dari ekuitas yang dibagi dengan total saham biasa yang beredar.
Artinya, nilai buku adalah harta atau uang yang tersedia di emiten saat ini. Jika uang itu dicairkan kepada para pemegang saham, itulah nilai buku per saham.
Namun, rata-rata harga saham itu berada di atas nilai bukunya. Untuk itu, jika ada saham yang valuasi PBV-nya di bawah 1 kali, banyak yang menganggap saham itu sudah murah dan menarik. Sehingga potensi harga saham naik menjadi semakin besar.
Meski begitu, PBV masih penuh perdebatan.
Dari pihak pertama menilai, PBV adalah metrik yang memberikan gambaran ke depan tentang arus kas di masa depan. Dengan angka nilai buku yang juga termasuk seluruh saldo laba ditahan yang belum digunakan tersimpan di sana. Sehingga, ada asumsi itu semua menjadi arus kas perusahaan di masa depan.
Di sisi lain, pihak kedua menilai PBV tidak menggambarkan masa depan, termasuk menunjukkan posisi arus kas di masa depan. Alasannya, perhitungan PBV menggunakan angka harga pasar saat ini, serta jumlah saham yang diterbitkan, dan nilai neraca (aset dan liabilitas) yang ada saat ini. Sehingga PBV tetap hanya sekadar memberikan gambaran kondisi saat ini saja.
Keterbatasan PBV
Adapun, kita tidak bisa memungkiri kalau PBV bukanlah sebuah metriks yang sempurna. (termasuk price to earning ratio, EV/Ebitda, hingga user per sales). Ya, semua itu adalah valuasi relatif yang punya risiko bias terhadap potensi yang terjadi di masa depan.
Seperti, PBV dianggap rasio keuangan yang cocok dilihat ke perusahaan yang mengalami kerugian. Alasannya, perusahaan yang merugi jelas tidak bisa dilihat dengan metriks price to earning ratio.
Namun, ada beberapa kondisi yang membuat PBV menjadi kurang relevan digunakan, seperti untuk membandingkan perusahaan yang berada di negara berbeda. Alasannya, ada standar akutansi yang diterapkan berbeda-beda di setiap negara.
Lalu, rasio PBV dianggap kurang relevan jika digunakan di perusahaan jasa dan teknologi infomrasi yang hanya memiliki sedikit aset berwujud di neracanya. Terakhir, nilai buku juga bisa menjadi negatif karena kerugian berturut-turut sehingga rasio PBV tidak bisa digunakan untuk melakukan valuasi.
Selain itu, ada beberapa kejadian yang bisa membuat angka PBV menjadi bias seperti, adanya penghapusan kredit bermasalah yang juga berdampak terhadap pengurangan permodalan, aksi buyback saham yang mempengaruhi angka saham beredar. Kedua hal itu membuat perbandingan nilai buku saat ini dengan masa lalu dan mungkin di masa depan menjadi sedikit bias.
Untuk itu, kami selalu menekankan selain melihat PBV, juga menilai kesehatan dan fundamental keuangan emiten tersebut. Tujuannya, jika analisis PBV ada bias, kita masih tetap aman karena dari kesehatan dan fundamental keuangan masih cukup bagus.
Kesimpulan: Jadi Cukup dengan PBV?
Bagi saya sendiri, PBV cukup memberikan gambaran apakah saat ini harga saham sudah murah atau belum. Soalnya, saya menerapkan strategi investasi Keep it simple. Di sini, saya adalah investor saham bukan seorang analis yang benar-benar mau merinci prospek dan valuasi saham menjadi lebih oke di masa depan. Walaupun, analisisnya belum tentu 100 persen benar.
Soalnya, hal terpenting bagi seorang investor adalah waktu alias timing. Jika kita tidak melakukan analisis sederhana, yang ada kehilangan momen emas.
Seperti, saat melihat saham PT Surya Esa Perkasa Tbk. (ESSA) yang turun cukup signifikan selama setahun terakhir. Waktu itu, saya sudah mantau ESSA di Juni 2023 saat harganya menyentuh ke Rp500-an per saham. Waktu itu, saya lihat price to book value-nya sudah cukup murah di mana saat itu posisi harga amoniak juga masih tinggi, meski agak koreksi. [kini price to book value ESSA sudah lebih tinggi dari rata-rata 5 tahunnya].
Akhirnya, saya masuk di Rp636 per saham pada awal Agustus 2023. Kini, memang baru untung 24 persen, tapi keputusan itu dilakukan dengan analisis sederhana, yakni penurunan harga saham, kualitas fundamental yang bagus, PBV di bawah rata-rata historis 5 tahunnya, dan ekspektasi pengembangan produk amoniak di masa depan. [btw, belinya di Agustus 2023 bukan karena kelamaan analisis, tapi karena nunggu ada modal hehe].
Bayangkan, kalau saya benar-benar sibuk menganalisis ESSA lebih rumit dari itu, yang ada bisa jadi kelewat momen emas saat harganya lagi murah. Walaupun, jujur, waktu itu saya galau antara masuk ESSA atau balik ke PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTK) untuk jangka panjang. Soalnya,ESSA belum masuk saham dividen rutin. Namun, saya pilih ESSA karena menilainya punya peluang pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan EMTK.
Jadi, di sini PBV hanya salah satu metriks, tapi kita juga harus punya gambaran metriks lainnya, yang kalau saya sendiri biasanya melihat dari rasio utang berbunga terhadap modal aman atau tidak, margin bisnisnya gimana, arus kas operasional harus positif (trauma sama SRIL), hingga mencari tahu sumber pendapatannya gimana, bisa ada potensi bertumbuh, atau hanya dari satu klien yang tidak terafiliasi sehingga bisa saja tiba-tiba cabut dan bikin kinerja keuangan kacau tiba-tiba.
Nah, kalau formula-mu dalam analisis saham seperti apa?
Untuk kamu yang mau coba strategi dividen investing, kamu bisa baca step by stepnya di sini:
- Mengenal Dividen dan Pendapatan Pasif
- 5 Cara Mendapatakan Pendapatan Pasif dari Dividen Secara Rutin
- 5 Cara Memilih Saham Dividen yang Menguntungkan Jangka Panjang
- Strategi Investasi Saham Dividen yang Aman Hingga Pensiun
- Cara Analisis Saham Dividen, Tentukan Hold atau Jual
- Peran Dividen dalam Portofolio Investasi Jangka Panjang
- Strategi Investasi si Ratu Dividen Dunia